Menikah. Sebuah kata yang sebagian orang pahami sebagai pelampiasan hajat biologis semata. Tak urung, ibadah ini pun kehilangan nilai sakralitasnya dan tak jelas tujuannya.
Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Semua syariatnya berkisar pada maslahat manusia. Di antara syariat yang dibawa oleh Islam adalah syariat untuk menikah. Karena, menikah memiliki maslahat yang besar pada kehidupan manusia. Dalam Islam, menikah bukan sekedar proses pelampiasan hajat biologis manusia. Di baliknya terkandung tujuan-tujuan mulia.
Seseorang muslim yang telah siap untuk menikah seharusnya memahami tujuan pernikahan yang telah dipatok oleh Islam ini. Agar, ia bisa menata kehidupannya sesuai dengan koridor syariat, dan mendapat keridhaan Allah. Beberapa tujuan mulia pernikahan itu adalah:
Yang pertama: Dalam rangka iffah (menjaga kehormatan diri)
Seseorang yang memiliki dorongan syahwat tinggi dan mampu untuk mencari nafkah lebih ditekankan untuk menikah. Karena, hidup membujang akan membuka pintu-pintu kerusakan. Baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai para pemuda barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah maka menikahlah karena sesungguhnya menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dan barangsiapa yang belum mampu untuk melakukannya maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa akan membentengi dirinya” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Yang kedua: Dalam rangka mencari ketenteraman jiwa.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. [Q.S. Ar-Rum:21].
Yang ketiga: Sebagai sarana untuk mencari pahala yang besar.
Dengan menikah, seseorang akan dapat menambah amalan kebajikan yang tidak bisa dilakukan ketika sebelum menikah. Seperti, mendidik istri serta anak dan memberikan nafkah kepada mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Apabila seorang laki-laki menafkahi keluarganya dan ia mengharap pahala darinya maka hal ini dinilai sebagai sedekah.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]
Bahkan, jima’ pun bernilai ibadah di sisi Allah karena ini merupakan salah satu nafkah batin yang harus ditunaikan seorang suami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, memerintahkan kepada yang ma’ruf adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah dan dalam setiap jima’ kalian dengan istri adalah sedekah.” [H.R. Muslim].
Yang keempat: Dalam rangka memperbanyak jumlah umat Muhammad.
Banyaknya jumlah umat Islam merupakan perkara yang disyariatkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam gembira dan bangga tatkala umatnya merupakan umat yang besar. Hal ini bisa dicapai dengan pernikahan yang halal.
Bahkan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membolehkan seorang shahabat untuk menikah dengan wanita yang mandul yang tidak bisa memberikan keturunan. Dalam sebuah riwayat disebutkan,
“Seseorang datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan, ‘Sesungguhnya aku telah meminang seorang wanita yang memiliki kemuliaan nasab (keturunan) dan kecantikan. Hanya saja, ia tidak bisa mempunyai anak (mandul). Apakah aku boleh menikahinya?’ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak.’ kemudian orang ini pun datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam kedua kalinya kemudian ketiga kalinya (dia bertanya semisal yang pertama) maka Rasulullah akhirnya menjawab, ‘Nikahilah wanita yang penyayang lagi banyak anak karena aku akan bangga dengan banyaknya kalian di antara umat umat.’” [H.R. Abu Dawud, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah]. Allahu a’lam.
(Ustadz Hammam)
Leave a Reply