Sebagai orang tua, kebanyakan kita merasa lebih tahu daripada anak-anak. Merasa paling benar dan tidak mungkin salah di depan mereka. Padahal kenyataannya tentu tidak demikian. Karena orang tua adalah manusia biasa. Sangat mungkin muncul kesalahan dan kekeliruan darinya.
Anggapan orang tua di atas apabila dihadapkan dengan kenyataan yang kita sebutkan, tentunya bisa menghasilkan sikap menolak kebenaran jika kebenaran itu keluar dari mulut si anak. Misalnya saja karena lupa, orang tua makan dalam keadaan berdiri. Dengan penuh ketulusan, anaknya menegur dan mengingatkan kesalahan tersebut. Bisa jadi bahasa si anak saat itu kurang sopan. Karena sangat kita maklumi, mereka tentu belum bisa mengerti cara yang tepat dalam memberi nasihat. Alhasil, karena malu dan sakit hati, orang tua tersebut marah tanpa mau mengakui kesalahannya.
Keadaan seperti ini sangat mungkin terjadi. Namun apakah hal ini benar? Tentu saja tidak. Kita harus akui kebenaran walaupun muncul dari orang yang lebih kecil dari kita. Terlebih lagi sikap penolakan tersebut akan membuat anak belajar menolak pula saat diperingatkan. Dan mestinya harga diri orang tua akan jatuh di hadapan anak-anak, karena dia tahu apa yang dia sampaikan adalah kebenaran dan apa yang dilakukan orang tua saat itu adalah sebuah kesalahan.
Sikap bijaksanalah yang seharusnya kita lakukan. Mengakui kesalahan kalau memang hal itu kita lakukan tanpa sengaja. Kita jelaskan kepada mereka. Dan berterima kasih atas peringatan yang mereka berikan.
Dulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diingatkan oleh seorang sahabat kecil yaitu Usamah bin Zaid. Yaitu saat beliau melaksanakan ibadah haji. Berikut kisah yang disampaikan oleh Usamah,
جِئْنَا الشِّعْبَ الَّذِي يُنِيخُ النَّاسُ فِيهِ لِلْمَغْرِبِ فَأَنَاخَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاقَتَهُ وَبَالَ وَمَا قَالَ أَهَرَاقَ الْمَاءَ ثُمَّ دَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ وُضُوءًا لَيْسَ بِالْبَالِغِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ الصَّلَاةَ فَقَالَ الصَّلَاةُ أَمَامَكَ
“Ketika kami sampai di suatu bukit tempat orang-orang menambatkan tunggangannya untuk salat Maghrib Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menambatkan unta beliau. Lalu beliau buang air kecil -dan perawi tidak mengatakan ‘menuangkan air’-. Setelah itu beliau minta untuk berwudhu. Kemudian beliau berwudhu dengan tidak sempurna. Aku pun bertanya (mengingatkan karena beliau belum melaksanakan salat Maghrib, pen.) ‘Wahai Rasulullah, apakah Anda akan salat?’ Beliau menjawab, ‘Nanti di persinggahan berikutnya.’” [Muttafaqun ‘Alaih]
Dalam hadis tersebut, Usamah mengingatkan beliau karena menyangka beliau lupa melaksanakan salat Maghrib. Namun Rasulullah tidak marah terhadap Usamah. Beliau menjelaskan bahwa salat Maghrib akan dilaksanakan sesampainya mereka di Muzdalifah.
Demikian yang beliau lakukan saat diingatkan, walaupun oleh orang yang lebih muda dan lebih rendah tingkatan kemuliaannya dari pada beliau. Bahkan beliau meminta para sahabat agar mengingatkan beliau ketika lupa. Beliau pernah bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِي
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, aku bisa lupa sebagaimana kalian juga bisa lupa. Karena itu bila aku lupa, maka ingatkanlah aku.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Maka demikianlah seharusnya kita juga bersikap. Allahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply