Ingat baik-baik kalimat bijak Said bin Jubair ini, “At Tawakkul jimaa’ul iimaan”. Bertawakal adalah puncak dan pertanda iman. Maksudnya, pengakuan iman dan pernyataan beriman kita hanyalah dapat dibuktikan dengan sikap tawakal. Implementasi serta aplikasi iman dalam keseharian adalah dengan bertawakal.
Lalu, apa arti tawakal? Pengertian, definisi dan aplikasinya seperti apa?
Tidak sedikit definisi tawakal yang dapat ditemukan dalam referensi-referensi Islam. Boleh dikata, ada puluhan pengertian dari ulama yang berbeda dapat dibaca. Hanya saja, deskripsi lugas namun padat dari Ibnu Rajab dalam Jamiul Uluum (hal.535), bolehlah dipegang sebagai pengertian.
“Shidqu i’timaadil qalbi ‘ala Allah –’azza wa jalla- , fis tijlaabil mashaa-lih wa daf’il madhaa-r min umuurid dunyaa wal aa-khirah kulliha wa kilatul umuuri kullihaa ilaihi”
Pengertian dari Ibnu Rajab di atas menggambarkan tawakal sebagai hati yang sepenuhnya berserah diri secara jujur kepada Allah dalam upayanya menggapai kebaikan atau menghindari keburukan. Bukan hanya terkait kepentingan akhirat, bahkan urusan duniawi sekalipun. Lalu, pasrah seluruhnya kepada Allah.
Hakikat tawakal dapat disederhanakan dengan meyakini sepenuh hati bahwa tidak ada yang dapat memberi, menahan, mendatangkan manfaat dan madharat kecuali Allah. Inilah hakikat tawakal yang perlu dan harus diaplikasikan secara nyata dalam jejak kehidupan kita di dunia.
Bermodalkan tawakal, seorang hamba pasti mampu melewati hari-hari sulit. Sukses menyelesaikan semua problema adalah kepastian untuk hamba yang bertawakal. Ia tidak akan kenal takut kecuali kepada Allah. Kegagalan tidak membuatnya terpuruk sebagaimana keberhasilan tidak merubah hatinya menjadi sombong. Sebab ia yakin, itu semua telah ditetapkan Allah.
Seorang ulama besar bernama Wahb bin Munabbih, murid senior sahabat Abu Hurairah menyatakan, “Al Ghaayatul Qushwaa, At Tawakkul”. Seharusnya cita-cita tertinggi kita adalah bertawakkal. Apa maksud dari kalimat bijak ini?
Belajarlah dan teruslah belajar.Ayat-ayat Al Qur’an, pelajarilah dengan seksama. Jangan lewatkan harimu walau sehari saja, tanpa membaca dan meresapi sabda Nabi. Sampai kapan? Teruslah beribadah dengan mengamalkan ilmu yang telah diperoleh.Meski sedikit demi sedikit. Setapak lalu setapak berikutnya. Sampai kapan? Sampai tawakal menjadi ruh hidup.
Untuk berhasil dalam menuntut ilmu, misalnya. Siapapun dari kita tidak akan mampu mencapai puncak tertinggi dalam ilmu bila tidak berbekal tawakal. Ia mesti menyerahkan sepenuhnya keberhasilan itu kepada Allah. Ia pasrah dalam doa dan harapannya agar memperoleh limpahan ilmu yang bermanfaat.
Ia tidak boleh bangga dengan tingkat intelegensinya yang tinggi. Ia jangan bersandar pada kecerdasannya. Ia dilarang angkuh dan tinggi hati karena kepintarannya. Selain itu, ia tidak meremehkan atau menganggap kecil orang lain. Seharusnya, semakin bertambah ilmu, bertambah pula kerendahan hatinya. Inilah arti tawakal.
Contoh kedua. Bekerja dan mencari nafkah. Bukan semata-mata telah mengantongi gelar sarjana ekonomi, pakar manajemn atau telah berpengalaman berpuluh tahun, lantas ia lupakan kuasa Allah. Jangan karena merasa didukung finansial yang kuat, memiliki beking atau jaringan yang luas, kemudian ia terlena hingga ia tidak ingat bahwa yang mengatur segala-galanya adalah Allah.
Sebenarnya, semua yang ia punya dan tersebut di atas hanyalah bagian dari ikhtiar hamba. Toh, kita harus sadar bahwa manusia hanya bisa mereka-reka rencana dan Allah jua yang akan memutuskannya. Oleh sebab itu, serahkan keputusan akhirnya kepada Allah. Cita-cita, harapan dan keinginan kita selalu tujukan kepada Allah dalam rangkaian doa.
Al Hasan Al Basri menyatakan, “Sungguh! Tawakal seorang hamba itu dengan selalu menjadikan Allah sebagai inti dari sikap percayanya”. Ia selalu percaya bahwa Allah Maha Mampu. Ia percaya jika Allah maha kuasa. Ia percaya bahwa tidak ada yang sulit bagi Allah. Semua yang kita inginkan amatlah mudah dikabulkan Allah.
Dengan demikian, tidak ada lagi rasa pesimis yang menyertai. Kita tidak akan ragu-ragu atau bimbang untuk berbuat. Semua dikerjakan dengan penuh percaya. Asalkan, yang kita lakukan sesuai dengan kehendak-Nya. Selama tuntunan Rasulullah menjadi patokan arahnya.
Contohnya, tekad untuk menikah. Bukan begitu, Sobat Tasfiyah? Menikah adalah sunnah Rasul. Menikah artinya menyempurnakan separuh agama. Menikah itu ibadah yang agung. Di dalam maghligai pernikahan, kita telah dinanti berbagai macam dan berbagai ragam ibadah. Sehingga salah besar, jika menganggap menikah akan menjadi penghalang ibadah. Sebab, menikah itu sendiri merupakan ibadah.
Sobat Tashfiyah yang ingin menikah, jadikanlah tawakal sebagai modal utama. Tidak mungkin Allah mempersulit hamba yang ingin melaksanakan perintah-Nya. Allah pasti akan membantu dan memudahkannya. Apalagi, selain meniatkannya sebagai ibadah, ia pun berusaha tidak lepas dari sunnah Rasulullah.
Oleh sebab itu, ia memiliih orang yang berilmu sebagai ketua “tim suksesnya”. Ia dahulukan kriteria agama dan kecocokan watak sebagai syarat calonnya. Harta dan paras wajah, walaupun menjadi daya tarik tersendiri, ia nomer duakan. Latar belakang keluarga dan calon mertua juga penting, akan tetapi lebih penting lagi calon pasangannya.
Ia kumpulkan semua informasi yang memang mungkin dikumpulkan tentang calonnya. Sambil disertai sebuah kesadaran bahwa tidak ada yang tercipta sempurna di atas bumi ini. Semua pasti mempunyai kekurangan. Hanya saja, ia harus sadar semoga kehadirannya akan menjadi penutup kurang dan penyempurna pasangannya.
Setelah itu ia melangkah dengan tawakal. Ia percaya bahwa rejeki telah diatur dan dan ditetapkan Allah sebelum ia terlahir di dunia. Pasang surutnya rumah tangga dengan sebab konflik pasti dapat dilalui dengan baik. Pertengkaran dan perselisihan rumah tangga telah diberikan solusinya oleh Islam. Tinggal dijalankan saja. Percayalah, Allah pasti memudahkan!
Katakanlah ia ditolak. Lamarannya tidak diterima atau ada orang lain yang mendahuluinya. Ia tetap percaya bahwa itulah yang terbaik untuknya. Ia percaya bahwa Allah telah mengaturnya demikian. Sehingga tidak ada kecewa, sedih,sesal atau sakit hati. Inilah implementasi tawakal.
Intinya, Sobat Tashfiyah, hidup kita di dunia akan bahagia jika bersendikan tawakal. Ingatlah baik-baik ucapan Wahb bin Munabbih di bagian atas tadi. Beliau yang menyatakan, “Al Ghaayatul Qushwaa, At Tawakkul”. Seharusnya cita-cita tertinggi kita adalah bertawakkal.
Wallahu a’lam
Leave a Reply