Hari itu Hari Arafah, delapan puluh satu hari menjelang wafatnya Rasulullah. Dalam rangkaian Haji Wada’ itu, Nabi menunggangi unta bersama-sama dengan para sahabat. Tiba-tiba, unta Nabi bertekuk lutut kemudian menderum. Berat dirasakan olehnya. Begitu pula yang dirasakan oleh Nabi Muhammad yang sedang menunggang di atasnya. Beliau mencucurkan peluh dan gemetar.
Berat yang Nabi rasakan bukan karena terik matahari yang menyengat atau letih yang mendera. Demikian pula, unta itu menderum bukan karena beratnya sang penunggang. Bukan itu. Ternyata, penyebab itu semua karena Jibril turun menampakkan diri pada beliau menyampaikan wahyu Rabbnya. Turunlah potongan ayat yang mulia:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” [Q.S. Al Maidah:3].
Sejak saat itulah Islam sempurna. Syariat yang mulia ini pun telah paripurna. Maka, setelah itu tidak ada lagi ayat yang turun tentang hukum halal dan haram.
Ya, sejak saat itu, Islam tidak boleh ditambahi dan tidak perlu dikurangi. Karena, sesuatu yang sempurna itu sudah pas kadarnya, tepat ukurannya. Kalau ditambah, justru akan menjadi cacat. Pun ketika dikurangi, akan menjadi cacat. Berdasar itulah, Imam Malik bin Anas menyatakan mengenai ayat ini, “Maka apa pun yang hari itu (yakni saat diturunkan ayat tersebut) bukan termasuk bagian dari agama, hari ini pun bukan termasuk agama.”
Inilah di antara nikmat terbesar bagi kaum muslimin. Agama sebelum Islam masih perlu disempurnakan, ditambah dan dikurangi. Makanya, tidak ada ayat di dalam kitab suci mereka yang menegaskan kesempurnaan agama mereka. Islam pun menjadi agama terakhir menyempurnakan agama terdahulu tersebut. Tak ayal, seorang Yahudi pun mengatakan kepada Umar bin Al Khaththab, “Wahai Amirul Mukminin, kalian kaum muslimin membaca sebuah ayat, apabila ayat itu turun kepada kami, orang-orang Yahudi, kami akan menjadikannya sebagai hari raya.” Umar menimpali, “Ayat apa itu?” Si Yahudi pun menjawab dengan ayat tersebut di atas.
Kesempurnaan dalam Segala Aspek
Penyempurnaan Islam tentu bukan hanya dalam hal ibadah. Kesempurnaan Islam mencakup semua perikehidupan. Mencakup interaksi antara manusia dengan Rabbnya, interaksi antar manusia, demikian pula interaksi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya -hewan, tumbuhan, dan selainnya-. Baik ibadah, adab, akhlak, akidah, hukum pengadilan, pemerintahan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, seluruh sendi kehidupan manusia sudah diatur di dalam Islam. Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alusy Syaikh hafizhahullah menyatakan, “Inilah agama Islam. Agama ibadah dan muamalah. Agama akidah dan syariah. Agama ini mencakup kebaikan dunia dan akhirat.” [Majallatul Buhuts Al Islamiyah]
لَقَدْ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي السَّمَاءِ إلَّا ذَكَرَ لَنَا مِنْهُ عِلْمًا
“Rasulullah diwafatkan dan tidaklah ada burung yang mengepakkan sayapnya di langit, kecuali beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kita,” kata Abu Dzarr Al Ghifari.
Jadi, Islam bukan hanya tentang salat, puasa, zakat, dan haji. Islam bukan hanya berkutat pada urusan masjid, musholla, dan pengajian. Tapi, aplikasi Islam ada pada seluruh sendi kehidupan. Perdagangan, pernikahan, pertanian, bahkan masalah pemerintahan sekalipun, semuanya dicakup di dalam Islam. Siapa yang ingin meraih bahagia dunia akhirat, berpeganglah dengan Islam pada seluruh kehidupannya. Mulai sejak bangun tidur, sampai tidur lagi, bahkan tidur itu sendiri, tetap laksanakan syariat Islam.
Relevan di Semua Zaman, Tepat di Semua Tempat
Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad, membawa risalah yang terakhir. Maka, agama ini pun menjadi agama yang berlaku hingga hari kiamat. Syariatnya pas dengan kondisi setiap zaman hingga kiamat kelak.
Allah juga telah mengabarkan bahwa risalah yang dibawa oleh Rasulullah merupakan rahmat yang ditujukan bagi semesta alam.
“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” [Q.S. Al Anbiya:107]. Ya, Nabi Muhammad diutus bagi seluruh manusia, di mana pun mereka berada. Karena itu, pastilah risalah yang beliau bawa sesuai untuk mereka.
Rasulullah bersabda yang artinya, “Aku diberi lima keistimewaan yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelumku. [Salah satunya adalah,] dahulu, setiap Nabi diutus khusus untuk umatnya, adapun aku diutus untuk seluruh manusia.” [Muttafaqun ‘alaih]
Inilah istimewanya Islam, agama yang diperuntukkan bagi semua jin dan manusia, tanpa kecuali. Setelah menyebutkan hadis yang lalu, Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “Dengan ini, diketahuilah bahwasanya harus bagi seluruh umat ini, baik jin dan manusia, untuk mengikuti Nabi Muhammad. Allah tidak menerima dari seorang pun, setelah beliau diutus- kecuali agama yang beliau bawa. Yakni agama Islam, yang relevan untuk setiap zaman dan tempat, hingga tegaknya kiamat.” [Majmu’ Fatawa Asy Syaikh Ibni Baz 9/200]
Jadi, Agama Islam Menyesuaikan Tradisi di Setiap Zaman dan Tempat?
Saudara pembaca, memang agama Islam relevan di setiap zaman dan tempat. Tapi ini bukan berarti Islam berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan tradisi di suatu tempat. Islam di mana pun dan kapan pun takkan pernah berubah. Ingat wasiat Imam Malik yang telah kami sebutkan di muka, “Apa pun yang hari itu bukan dari agama, maka saat ini pun juga bukan dari agama.”
Jadi, agama Islam telah paten. Agama Islam tidak terpengaruh perubahan zaman dan perbedaan tempat. Islam tetap satu. Islam tetap sama. Islam di Arab, sama dengan Islam di nusantara. Islam di Barat sama dengan Islam di Asia. Demikian pula, Islam yang kita anut, sama dengan Islam yang dipegang oleh para sahabat dahulu, dan tetap akan sama dengan Islam yang kelak dianut oleh anak cucu kita. Inilah Islam yang satu.
Marilah kita perhatikan petuah dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Sang Faqih Abad ini, “… karena Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi, maka syariatnya relevan untuk setiap zaman dan tempat. Bukan artinya bahwa syariat ini berubah menyesuaikan perubahan zaman, tapi maknanya bahwa siapa yang berpegang teguh dengannya, akan baik baginya di setiap waktu. Kadang orang salah memahami bahwa agama ini relevan bagi setiap zaman dan tempat, artinya syariat ini berubah seperti berubahnya manusia. Apabila mereka memiliki banyak pekerjaan yang menyibukkan dari salat, dikatakan kepada mereka, ‘Engkau tidak usah salat Zhuhur dan Ashar karena itu waktu bekerja. Atau engkau jamakkan salat itu dengan Maghrib dan Isya.’ Sebagaimana ini dilakukan sebagian karyawan sekarang ini. Aku mendengar kabar bahwa sebagian pekerja menjamakkan salat lima waktu semuanya ketika hendak tidur! Kalau kita katakan bahwa agama ini bisa menyesuaikan, maka ini benar! Tapi ini salah!
Makna ‘Agama Islam relevan untuk seluruh zaman’ adalah agama ini tidak bertentangan dengan perbaikan dan kebaikan di zaman apa pun. Berpegang teguhlah dengan agama Islam, niscaya akan baik urusan agama dan duniamu.” [Syarhu Aqidati Ahlis Sunnah wal Jama’ah]
Begitulah pembaca yang budiman, agama Islam yang disempurnakan ini takkan pernah berganti dan takkan pernah berubah. Di mana pun, kapan pun, sama dan akan tetap sama. Tidak ada Islam ala nusantara, ala Arab, ala Eropa, ala Amerika, dan seterusnya. Islam adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah. Siapa yang berpegang teguh dengan Islam ini, dia akan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Sebaliknya, siapa pun yang menambah atau mengurangi Islam, baik dengan alasan tradisi, anggapan baik, atau apa pun itu, takkan diterima oleh Allah dan justru akan berakibat buruk baginya. Nas’alullahat taufiq wal hidayah. Kita memohon taufik dan hidayah kepada Allah.
Leave a Reply