Revolusi di Tunisia (yang disebut dengan Revolusi Melati) dimulai ketika seorang pemuda Tunisia melakukan protes bunuh diri dengan membakar dirinya di depan gedung pemerintahan daerah setempat. Aksi pemuda ini dipicu karena ketidaktersediaan lapangan kerja di Tunisia, yang membuat lulusan perguruan tinggi ini tidak memiliki jalan lain kecuali berdagang sayur dan buah, namun kemudian oleh pemerintah disita gerobaknya, karena dianggap tidak memiliki ijin usaha.
Aksi pemuda ini memicu gelombang protes di negara yang terletak di tepi laut Mediterania ini. Para profesional, dosen, ahli hukum, polisi, buruh semua turun ke jalan, menuntut mundurnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali yang dianggap korup dan otoriter. Ben Ali lalu berhasil dilengserkan pada 14 Januari 2011.
Keberhasilan penggulingan Ben Ali menyalakan api perlawanan rakyat di negara-negara Arab dan sebagian Afrika lainnya seperti Mesir, Libya, Bahrain, dan Yaman,. Di Mesir, terjadi unjuk rasa besar-besaran menuntut mundur Presiden Husni Mubarok yang telah berkuasa selama 30 tahun. Situasi politik dan keamanan menjadi tidak menentu, penjarahan terjadi dimana-mana. Saking kacaunya, Presiden Yudhoyono memerintahkan untuk mengevakuasi semua WNI yang berada di Mesir. Setelah unjuk rasa besar-besaran yang berlangsung selama 17 hari yang berpusat di Lapangan Tahrir Kairo, pada 11 Februari 2011 rakyat yang menamakan aksinya dengan “Jum’at Kemarahan” berhasil menurunkan Husni Mubarok sebagai Presiden Mesir, yang lalu menyerahkan pemerintahan sementara kepada militer.
Gerakan perlawanan terus menjalar di dunia Arab dan sebagian Afrika. Setelah keberhasilan di Tunisia dan Mesir, kini sebagian rakyat Yaman juga menggelorakan semangat pembangkangan sipil terhadap rezim Presiden Ali Abdullah Saleh. Ribuan orang turun ke jalan di kota Aden, menuntut pemisahan Yaman Selatan dari Yaman Utara. Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990. Wilayah selatan memiliki sebagian besar minyak Yaman. Rakyat Yaman Selatan berpendapat bahwa orang-orang Yaman Utara memanfaatkan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam. Diilhami oleh perlawanan yang menggulingkan Presiden Tunisia dan Mesir, demonstran Yaman juga menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh.
Di Libya situasi ikut memanas. Puluhan orang telah kehilangan nyawa sejak demonstrasi besar-besaran dimulai pada 15 Februari 2011. Di sisi lain, Presiden Muammar Khadafi yang telah berkuasa selama 42 tahun tetap bertahan. Di kota terbesar kedua di Libya, Benghazi, pengunjuk rasa membakar kantor radio setempat. Sekitar seribu narapidana dilaporkan kabur dari sebuah penjara di kota itu, memanfaatkan kacaunya keadaan.
Demonstrasi besar-besaran menuntut penguasa turun juga terjadi di negara pulau di Teluk Persia, Bahrain. Bahrain adalah negara seluas Jakarta dengan penduduk sekitar 1,2 juta. Negeri ini diperintah oleh Muslim Sunni, namun dua pertiga penduduknya adalah Syiah. Kaum muda Syiah melancarkan protes atas pengangguran dan korupsi. Mereka menuntut mundur Perdana Menteri Khalifa bin Sulman al-Khalifa yang telah berkuasa selama 40 tahun.
Di Indonesia, demonstrasi menuntut turunnya Presiden Yudhoyono terjadi hampir setiap hari, walau tidak sebesar gelombang protes di negara-negara Arab dan Afrika diatas.
***
Pembaca yang dirahmati Allah, beberapa usaha penggulingan kekuasaan yang terjadi belakangan ini memiliki beberapa motif. Yang sering terjadi biasanya bermotif ekonomi, seperti harga-harga yang naik, tidaktersedianya komoditas pokok, hingga banyaknya pengangguran. Ada juga yang memiliki motif ideologi, agama, atau konsep bernegara.
Pertama, marilah kita meninjau apabila usaha penggulingan itu bermotif agama. Kondisi keislaman di Indonesia, Mesir, Yaman, dan negara-negara diatas secara umum baik. Meski bukan negara yang secara resmi menjalankan syariat Islam, alhamdulillah kita bebas untuk menjalankan syariat Islam. Bebas beribadah, bebas mengadakan pengajian, dan wanitanya bebas untuk berhijab. Adzan berkumandang ke seantero negeri ketika waktu sholat tiba. Dan dakwah Islam pun bebas untuk disebarkan. Bahkan, pemerintah kita mendukung dan memberikan fasilitas dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan seperti ibadah haji, tim ru`yah hilal, pembentukan Departemen Agama, dan penyelenggaraan pernikahan secara Islam. Alhamdulillah, ini merupakan nikmat yang sangat besar.
Timbul pertanyaaan, “Lho? Bukankah rezim Ben Ali di Tunisia itu melarang jilbab dan menutup masjid? Di mana kebaikannya untuk kaum muslimin?”
Pembaca yang dirahmati Allah, kebingungan seperti ini akan terjawab bila kita bercermin pada kisah Nabi Musa ‘alaihi wa sallam. Beliau ‘alaihi wa sallam menghadapi suatu rezim, dimana penguasa rezim tersebut, yakni Fir’aun, mengaku sebagai Rabb, sebagai Tuhan, yang akan menghabisi siapa saja yang tidak mengagungkannya. Firaun merupakan sejelek-jelek penguasa yang pernah ada di muka bumi. Menghadapi ini, Nabi Musa ‘alaihi wa sallam menasehati umatnya untuk tetap bersabar dan memperbaiki akidah mereka. Beliau tidak mengumpulkan massa dan melakukan kudeta.
Dan apa buah kesabaran umat Nabi Musa ‘alaihi wa sallam itu ? Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا ۖ وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَىٰ عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا
“Dan Kami wariskan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri timur dan barat, yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.” [Q.S. Al-A’raf:137]
Merupakan prinsip dasar aqidah kaum muslimin untuk tetap bersabar dibawah pemerintahan yang sezalim apapun, selama dia masih muslim. Dengan para pemimpin seperti Ben Ali dan Husni Mubarok yang masih mengaku sebagai muslim, apakah rezim mereka lebih buruk dibanding Fir’aun?
Prinsip aqidah untuk tetap taat pada penguasa dalam hal kebaikan, dan tidak melakukan kudeta karena hal jelek yang dilakukannya –selama penguasa ini masih muslim–, bukanlah sesuatu yang bisa ditawar. Dia bukanlah ranah fiqh yang dalam kondisi darurat bisa merubah sesuatu yang haram menjadi halal. Sehingga, tidak ada rukhsah, tidak ada keringanan untuk mengabaikannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya :
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Karena sungguh (kelak) orang yang masih hidup. Di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan Sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun Al-Mahdiyyun sepeninggalku.” [H.R. Abu Dawud & Tirmidzi dishahihkan oleh Syaikh al-Albani Rahimahullah ]
Bahkan, dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, yang artinya
“Engkau mendengar dan menaati penguasa. Sekalipun dipukul punggungmu dan diambil hartamu maka tetap mendengarlah dan taatlah.” (HR. Muslim)
Lalu, apakah berarti Islam mengajarkan kita bertindak pasif? Tidak melakukan koreksi, memberikan nasehat kepada pemerintah? Hanya bersabar menunggu datangnya pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala ? Alhamdulillah tidak. Syariat yang mulia ini telah mengaturnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan, yang artinya,
“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa pada suatu perkara maka janganlah dia tampakkan kepadanya secara terang-terangan, melainkan hendaklah dia pegang tangannya dan menyendiri dengannya, kalau dia (penguasa) menerima maka itu bagus, dan kalau tidak maka dia telah menunaikan kewajibannya memberikan nasehat.” (HR. Ahmad & Ibnu Abi Ashim, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani Rahimahullah)
Apabila kita tidak bisa menyampaikan nasehat secara langsung, maka bisa dengan cara menulis surat atau melalui orang yang dapat menyampaikan nasehat dengan cara yang baik, tanpa mengakibatkan hilangnya kewibawaan pemerintah, sebab hilangnya kewibawaannya akan mengakibatkan kerugian dan kerusakan yang lebih besar.
Mungkin masih banyak diantara kita yang hingga saat ini masih belum merasa mantap. Apakah hanya dengan kesabaran? Tidak melakukan perlawanan sama sekali?
Pembaca yang budiman, cara-cara menyelesaikan masalah telah diatur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala melalui Al Qur’an dan As Sunnah. Karena Dialah yang paling mengetahui maslahat bagi manusia. Dalam Islam, kebenaran tidak ditentukan dengan hasil yang didapatkan, akan tetapi dengan cara penyelesaiannya. Terkadang hasil yang didapatkan dengan kesabaran itu justru tidak sesuai keinginan kita. Hasil ini kembali menjadi ujian bagi kita apakah kita masih bisa bersabar atasnya. Kisah umat Nabi Musa ‘alaihi sallam diatas telah menjadi contoh bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan nikmat kepada hamba-Nya yang bersabar.
Setelah kita meninjau revolusi dari motif agama atau ideologi, selanjutnya kita meninjau apabila revolusi tersebut bermotif ekonomi. Apabila ini menjadi motif utama untuk menggulingkan pemerintahan, maka sudah selayaknya kita bercermin pada generasi terbaik umat ini.
Pada tahun 18 Hijriah, terjadi musim kemarau panjang yang mengakibatkan banyak orang dan binatang yang mati. Peristiwa ini kemudian dalam sejarah disebut sebagai “Krisis Tahun Ramadah”. Orang-orang banyak yang menggali lubang tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya—saking langkanya makanan. Apakah kita, kaum muslimin sekarang, terutama di Indonesia pernah merasakan kepedihan seperti itu? Alhamdulillah tidak. Namun dengan kondisi separah itu, dengan penuh kesabaran, kaum muslimin saat itu tetap taat dan patuh pada sang Khalifah, Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu Tidak memberontak kepada Sang Khalifah atau menyalahkannya. Sudah seharusnya kita meniru mereka, generasi terbaik umat ini.
“ Manusia yang paling baik adalah generasiku, kemudian yang setelahnya dan yang setelahnya.” [Muttafaq Alaihi]
Sekarang di Tunis, para petingginya berebut kekuasaan, kaum intelektual bingung . Tidak siap. Baik ideologi, konsep bernegara, apalagi tindakan nyata. Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun. Inilah akibat dari diabaikannya prinsip ketaatan kepada penguasa. Prinsip ketaatan terhadap penguasa ini bukan dalam rangka melanggengkan praktik kezaliman atau membenarkannya. Akan tetapi dalam rangka memilih mudharot (keburukan) yang lebih ringan diantara dua mudharot yang telah terjadi dan akan terjadi. Dan sejarah membuktikan bahwa gerakan kudeta senantiasa mengakibatkan kerugian dan kerusakan yang lebih parah. Bersabar memang berat, menahan emosi tidak semua orang bisa, namun Allah menjanjikan ganjaran yang amat besar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Sifat-sifat yang baik itu tidak akan diberikan kepada siapapun, selain dari orang-orang yang berhati sabar dan tidak pula diberikan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan besar.” (QS. Fushilat:35)
Wallahu alam bish showwab.
“Andai kami memiliki doa yang mustajab (dikabulkan), sungguh akan kami tujukan doa tersebut bagi penguasa, karena kebaikan bagi mereka adalah kebaikan bagi rakyat” (Ahmad bin Hanbal Rahimahullah, Majmu’ Al-Fatawa, 28/391)
Leave a Reply