Saudaraku yang dirahmati Allah,
Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, kita terkadang harus memberikan janji kepada orang lain. Janji itu bisa berupa tindakan, bantuan atau utang-piutang materi.
Namun sayang, betapa banyak kaum muslimin, tua ataupun muda yang sering mengingkari janjinya. Bahkan minta uzur atau minta maaf pun tidak. Padahal Allah berfirman
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” [Q.S. Al-Isra`: 34]
Memenuhi janji bukan hanya untuk sesama manusia saja. Namun janji kepada Allah dan kepada diri sendiri (misal nadzar) pun harus dipenuhi. Allah berfirman:
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” [Q.S. An-Nahl: 91]
Dahulu ada seorang shahabat Nabi bernama Anas bin An-Nadhr. Dia amat menyesal karena tidak ikut perang Badar bersama Rasulullah. Dia berjanji jika Allah memperlihatkan kepadanya medan pertempuran bersama Rasulullah, niscaya Allah akan melihat pengorbanan yang dilakukannya.
Ketika berkobar perang Uhud, dia berangkat bersama Rasulullah. Di sinilah Anas membuktikan janjinya. Dia terus maju menerobos barisan musuh hingga terbunuh. Ketika perang telah usai dan kaum muslimin mencari para syuhada Uhud, didapati pada tubuh Anas bin An-Nadhr ada 80 lebih tusukan pedang, tombak, dan panah, sehingga tidak ada yang bisa mengenalinya kecuali saudarinya. Lalu turunlah ayat Al-Qur`an:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).” [Q.S. Al-Ahzab: 23]
Dari ayat di atas kita bisa mengetahui bahwa salah satu ciri orang mukmin (orang yang beriman) adalah mereka yang berusaha untuk menepati janjinya.
Bagaimana Dengan Orang Kafir?
Kalau kita membaca sirah (kisah hidup) Rasulullah, maka kita akan melihat bahwa Rasulullah pun mengadakan perjanjian dengan orang-orang kafir. Beliau memegang terus isi perjanjian tersebut hingga batal akibat orang kafir menyelisihi janjinya. Sebagaimana Allah firmankan:
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun dari (isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” [Q.S. At-Taubah: 4]
Memenuhi Perjanjian Maksiat?
Misal ada temanmu yang berkata “Kalau aku lulus ujian, aku traktir minum-minum (mabuk minuman keras).” Maka perjanjian orang tersebut menjadi batal. Karena perjanjian yang menyelisihi syariat Islam tidak boleh dilaksanakan. Rasulullah bersabda yang artinya, “Dan kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau menghalalkan yang haram.” [H.R. At-Tirmidzi]
Mengucapkan “Insya Allah”
Terkadang kita merasa sangat lapang untuk memenuhi janji, sehingga ketika berjanji berkata “Pasti akan saya penuhi”. Hal seperti ini tidak boleh. Karena kita tidak tahu apakah Allah menakdirkan kita bisa memenuhi janji tersebut. Bisa saja beberapa menit atau beberapa jam kemudian kita tertimpa musibah sehingga tidak bisa memenuhi janji. Allah berfirman:
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi’, kecuali (dengan menyebut), ‘Insya Allah (jika Allah menghendaki).’” [Q.S. Al Kahfi: 23-24]
Namun jangan menggunakan kalimat “insya Allah” sebagai alasan untuk bermudah-mudahan dalam mengingkari janji. Kita tetap berikhtiar semampunya untuk memenuhi janji. Misal janji itu tetap tidak terpenuhi walau sudah berusaha keras, maka mintalah maaf sambil meminta uzur (keringanan) kepada yang diberi janji.
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Sedemikian tingginya Islam menjunjung adab dan akhlak dalam pergaulan. Apabila kita membaca sejarah keemasan Islam, kita akan mengetahui bahwa para pendahulu Islam sangat memegang janjinya, bahkan untuk hal yang paling remeh sekalipun.
Dan dari sejarah pun kita akan mengetahui bahwa tidak pernah ada pengkhianat yang hidupnya tenteram. Istri Nabi Luth terkena azab karena tidak mengikuti perintah suaminya. Yudas (murid Isa) mati di tiang salib karena mengkhianati nabinya. Yahudi di Madinah yang berkhianat setelah mengikat tali perjanjian dengan Rasulullah pun berujung hina. Di antara mereka ada yang dihukum mati dan diusir oleh kaum muslimin.
Karena itulah, untuk menjadi seorang mukmin yang selamat, tidak ada jalan lain kecuali untuk memenuhi janji kepada Allah, kepada makhluk, dan kepada diri sendiri. Wallahu a’lam.
[…] http://tashfiyah.com/contoh-pos-14/ […]