Soal: Apa hukum membawa ayat Al Quran di saku seperti mushaf kecil, dengan tujuan sebagai penjagaan dari hasad, penyakit ain, atau kejelekan apa saja atas dasar ayat tersebut adalah ayat yang mulia, apabila dianggap keyakinan seperti itu adalah keyakinan yang jujur kepada Allah. Demikian pula meletakkannya di dalam mobil, atau alat apa saja untuk tujuan yang sama. Soal yang kedua, hukum kain penutup yang tertulis ayat-ayat Allah untuk tujuan penjagaan dari penyakit ain, hasad, atau untuk sebab lain seperti membantu keberhasilan, kesembuhan dari sakit, sihir, dan sebab yang lainnya. Soal yang keempat hukum menggantungkan ayat-ayat Al Quran untuk ruqyah (menyembuhkan) pada kalung emas atau sebaliknya untuk menjaga dari kejelekan?
Jawab: Allah menurunkan Al Quran, agar manusia beribadah kepada Allah dengan membacanya, memahami makna-maknanya, mengetahui hukum-hukumnya, kemudian mengamalkannya. Dengan demikian Al Quran menjadi nasihat dan pengingat yang dengannya akan lunak hati mereka, merinding bulu rambut mereka, sebagai obat berbagai penyakit dalam dada berupa kebodohan, kesesatan, akan menyucikan dan membersihkan jiwa dari berbagai kotoran syirik, dan segala maksiat serta dosa yang telah dilakukan. Allah menjadikan Al Quran sebagai pembimbing dan rahmat bagi siapa saja yang membuka hatinya, memfokuskan pendengarannya, dan ia dalam kesadaran penuh. Allah berfirman yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” [Q.S. Yunus: 57]. Allah berfirman yang artinya, “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin pun.” [Q.S. Az Zumar: 23]. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” [Q.S. Qaaf:37]. Allah menjadikan Al Quran sebagai mukjizat bagi Rasul-Nya Muhammad, sebagai tanda yang nyata bahwa beliau adalah utusan Allah kepada manusia seluruhnya untuk menyampaikan syariat-Nya, Al Quran sebagai rahmat untuk mereka, juga penegak hujah atas mereka. Allah berfirman yang artinya, “Orang-orang kafir Mekah berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata”. [Q.S. Al Ankabut:50]. Allah berfirman yang artinya, “Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” [Q.S. Al Ankabut:51]. Allah l berfirman yang artinya, “Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah).” [Q.S. Yusuf: 1]. Allah berfirman yang artinya, “Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.” [Q.S. Yunus: 1]. Dan ayat-ayat yang lain.
Asalnya Al Quran adalah kitab suci yang menetapkan syariat dan menerangkan hukum-hukum Islam. Al Quran adalah ayat dalam kandungan maknanya, mukjizat yang nyata, dan hujjah yang menghancurkan argumentasi kekafiran. Allah mengokohkan Rasul-Nya Muhammad dengan Al Quran. Bersamaan dengan ini semua, telah shahih dari Rasulullah bahwa beliau meruqyah beliau sendiri dengan Al Quran. Beliau selalu membaca untuk diri beliau sendiri Al Wu’awidzat (Qul huwallahu Ahad, Qul A’udzubirabbil Falaq, Qul A’udzubirabbin Nas). Telah shahih pula bahwa beliau mengizinkan ruqyah dengan sesuatu yang tidak mengandung kesyirikan berupa ayat Al Quran dan doa-doa yang disyariatkan. Beliau juga menyetujui para sahabat yang meruqyah dengan Al Quran, bahkan membolehkan mereka mengambil imbalan dari ruqyah. Dari Auf bin Malik mengatakan, “Dahulu kami melakukan ruqyah pada masa jahilyah. Kami pun bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang hal itu?’ Beliau ` menjawab yang artinya, ‘Bacakan kepadaku ruqyah kalian, tidak mengapa ruqyah selama bukan kesyirikan.’” [H.R. Muslim]. Juga dari sahabat Abu Said Al Khudri mengatakan, “Sekelompok sahabat Nabi berangkat dalam safar. Mereka pun singgah di sebuah pemukiman dari kampung-kampung Arab. Mereka pun meminta jamuan, namun penduduk itu enggan menjamu. Pemimpin kampung itupun tersengat binatang beracun. Maka penduduk kampung itu mengusahakan kesembuhan pemimpin mereka dengan segala cara, namun tidak memberikan manfaat apa-apa. Maka sebagian mereka mengatakan, ‘Seandainya kalian memanggil sekelompok orang yang sedang singgah dalam safarnya itu, mungkin sebagian mereka memiliki sesuatu. Maka didatangkanlah rombongan para sahabat itu. Mereka mengatakan, ‘Wahai kalian, sesungguhnya pemimpin kami tersengat binatang beracun. Kami telah mengusahakan kesembuhannya dengan segala cara namun tidak bermanfaat. Apakah salah seorang kalian memiliki sesuatu?’ Sebagian sahabat menjawab, ‘Ya, demi Allah aku akan meruqyahnya. Namun, demi Allah, kami telah bertamu dan meminta kalian untuk menjamu kami, namun kalian tidak mau. Aku tidak mau meruqyah untuk kalian, sampai kalian mau memberikan imbalan.’ Terjadilah kesepakatan berupa jamuan hidangan kambing. Mulailah seorang sahabat meruqyah, dimulai dengan meniup dengan sedikit ludah pada si sakit kemudian membaca, ‘Alhamdulilahi rabbil’alamin.’ (surat Al Fatihah). Seolah-olah pemimpin itu terlepas dari ikatan, kemudian bangkit dan berjalan seperti tidak pernah sakit. Pemimpin itu mengatakan, ‘Penuhilah janji kalian untuk memberikan imbalan kepada mereka.’ Sebagian sahabat itu mengatakan, ‘Mari dibagi!’ Sementara sahabat yang meruqiyah mengatakan, ‘Jangan! Sampai kita menemui Nabi.’ Kemudian mereka menceritakan kejadian itu kepada beliau. Beliau bersabda yang artinya, ‘Dari mana kamu tahu bahwa Al Quran adalah ruqyah?’, Kemudian beliau ` bersabda, ‘Engkau benar. Bagilah kambing potong itu, ikutkan aku dalam bagian bersama kalian.’ Beliau pun tersenyum. [H.R. Al Bukhari dan Muslim]. Dari Aisyah mengatakan, “Rasulullah apabila beranjak ke pembaringan, beliau meniup dengan sedikit ludah pada dua telapak tangan beliau dengan membaca (Qul huwallahu Ahad) dan Al Mu’awidzatain (Al Falaq dan An Nas), kemudian mengusapkan kedua telapak tangan kepada wajah dan seluruh tubuh yang sampai terusap dua tangannya.” Aisyah melanjutkan, “Saat sakit, beliau memerintahkanku untuk melakukan hal itu pada beliau.” [H.R. Al Bukhari]. Dari Aisyah, beliau mengatakan, “Bahwa Rasulullah pernah memohonkan perlindungan kepada Allah untuk sebagian keluarga beliau. Beliau mengusapkan tangan kanan beliau sambil membaca doa (yang artinya), “Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah sakit ini, sembuhkanlah, Engkaulah Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan sakit.” [H.R. Al Bukhari], juga hadis-hadis shahih lainnya yang menyebutkan bahwa beliau meruqyah dengan Al Quran dan yang lainnya (doa, red), beliau mengizinkan ruqyah dan menyetujuinya selama tidak mengandung kesyirikan.
Dan tidak diriwayatkan dari Nabi, padahal kepada beliaulah Al Quran diturunkan, dan beliau pun orang yang paling mengetahui hukum-hukum Al Quran dan paling mengetahui agungnya kedudukan Al Quran, bahwa beliau ` mengantungkan jimat dari Al Quran pada diri beliau atau orang lain. Tidak pula beliau menjadikan Al Quran atau sebagian ayat sebagai tolak hasad atau kejelekan yang lain. Tidak pula beliaumembawa Al Quran atau sebagiannya dalam pakaian beliau atau barang-barang yang lain di atas kendaraan untuk menjaga dari kejelekan musuh atau agar mendapat keberuntungan dan kemenangan, atau supaya lancar perjalanannya, tidak terhalangi dengan hambatan-hambatan safar, atau yang lainnya berupa mencari kemanfaat atau menolak madharat. Seandainya hal itu disyariatkan, tentu beliau adalah orang yang paling bersemangat untuk melakukannya, juga beliau ` sampaikan dan jelaskan kepada umat, dalam rangka mengamalkan firman Allah yang artinya, “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [Q.S. Al Maidah: 67]. Seandainya beliau melakukannya, juga menerangkannya kepada para sahabat, tentu para sahabat akan menyampaikan kepada kita, sebelum itu para sahabat pun pasti akan melakukannya. Karena mereka adalah umat yang paling bersemangat untuk menjelaskan dan menyampaikan ilmu, mereka adalah umat yang paling semangat menjaga syariat baik secara ucapan atau amalan, merekalah umat yang paling kuat dalam ittiba’ (mencontoh) Nabi.
Namun, tidak dinukilkan sesuatupun tentang hal itu dari seorang pun dari mereka. Maka, ini menunjukkan bahwa membawa mushaf, atau meletakkannya dalam mobil, atau perabot rumah, atau brangkas penyimpanan harta untuk menolak hasad, atau sebagai penjagaan dan selainnya berupa upaya mendapatkan manfaat dan menghindari madharat, semua ini tidak boleh. Demikian pula menggantungkan Al Quran pada tirai penutup, atau menuliskannya, atau sebagian ayat darinya pada kalung emas atau perak misalnya untuk dipakai di leher atau manapun, ini tidak boleh. Karena hal itu menyelisihi bimbingan Rasulullah ` dan petunjuk sahabat beliau. Juga masuk dalam ancaman keumuman hadis yang artinya, “Siapa yang menggantungkan tamimah (jimat), semoga Allah l tidak menyempurnakan untuknya…”, dalam sebagian riwayat, “Siapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka telah berbuat kesyirikan.” Keduanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Juga masuk dalam keumuman sabda Rasulullah ` yang artinya, “Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah kesyirikan,” [H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah].
Hanya saja Rasulullah mengecualikan dari ruqyah selama bukan syirik, maka boleh, sebagaimana telah lalu. Dan beliau tidak mengecualikan sedikitpun dari tamimah (jimat). Sehingga tetap dalam keumumannya, semua dilarang. Inilah pendapat Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, sekelompok sahabat yang lainnya, sekelompok tabiin, di antara mereka para murid Abdullah bin Masud seperti Ibrahim bin Yazid An Nakha’i.
Ada pula sebagian ulama yang memberikan keringanan, berpendapat bolehnya menggantungkan gantungan dari Al Quran dan Nama dan Sifat Allah untuk tujuan penjagaan dan semisalnya. Mereka mengecualikan dari keumuman hadis Nabi tentang tamimah, sebagaimana ruqyah yang tidak mengandung kesyirikan juga dikecualikan. Alasannya, Al Quran adalah kalamullah, yang termasuk sifat-Nya. Maka keyakinan berkah dan manfaat pada-Nya, dan pada nama-nama-nya, serta sifat-Nya bukanlah termasuk kesyirikan. Sehingga tidak mengapa menggantungkan tamimah darinya, atau melakukan apa saja darinya, atau membawa, atau menempelkannya untuk mengharap berkah dan manfaat. Pendapat ini disandarkan kepada sekelompok ulama, di antaranya Abdullah bin Amr bin Al Ash. Hanya saja riwayat dalam hal itu tidak shahih. Karena dalam sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, dia adalah seorang mudallis (menyembunyikan perihal terputusnya sanad dengan mengesankan sanad tersebut bersambung), dan ia telah meriwayatkan dengan lafazh ‘an (‘Aku meriwayatkan dari, dan tidak menegaskan dengan lafazh ‘aku mendengar’ dan kalimat semacamnya yang menegaskan bersambungnya sanad). Padahal, apabila riwayat itu shahihpun, tetap tidak menunjukkan bolehnya menggantungkan tamimah dari Al Quran, serta nama dan sifat-Nya. Karena dalam riwayat tersebut, dahulu Abdullah bin Amr bin Al Ash memerintahkan anak yang sudah besar untuk menghafal Al Quran, dan beliau menuliskan ayat yang dihafal dalam lembaran-lembaran untuk anak kecil, dan menggantungkan pada leher mereka. Yang nampak dari riwayat ini, bahwa Abdullah bin Amr bin Al Ash melakukan itu agar anak yang masih kecil mengulang-ulang membaca apa yang ditulis sehingga mudah menghafalnya. Bukan dalam rangka penjagaan dari hasad atau semacamnya dari berbagai jenis kejelekan. Maka ini bukan termasuk tamimah sama sekali. Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam kitabnya Fathul Majid memilih pendapat Abdullah bin Masud dan murid-murid beliau yang melarang tamimah dari Al Quran dan selainnya. Beliau menjelaskan, “Pendapat inilah yang benar, karena tiga alasan; yang pertama keumuman larangan dan tidak ada yang mengkhususkannya. Kedua, sebagai menutup pintu yang akan mengarahkan kepada menggantungkan selain Al Quran. Ketiga, orang yang menggantungkan Al Quran, pasti akan menghinakannya dengan membawa ketika buang hajat, membersihkan setelah buang hajat, dan semisalnya. Allahu A’lam. Wa billahit taufik wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam. [Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsi Al ‘Ilmiyati Wal Ifta’.
Leave a Reply