Sobat Tashfiyah, pernahkah kalian berjanji? Tentu saja pernah bukan..? Adakah di antara kalian yang pernah ingkar janji..? Nah, ini dia masalahnya.. Pernahkah kalian merenungi bahwa janji yang telah terucapkan dari lisan kita akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah..?
Mari kita simak firman Allah berikut ini:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“… dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” [Q.S. Al-Isra’:34]
Dan cukuplah bagi kita akan jeleknya sifat ingkar janji ini, dengan ancaman mendapatkan kebencian Allah.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang kalian tidak kerjakan. Sangat besar kebencian Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.” [Q.S. Ash-Shaff:2-3]
Ingkar janji memiliki banyak ragam dan dosanya pun berperingkat sesuai besar kecil kerusakan yang ditimbulkan.
Karenanya, kita perlu mengenal macam-macam janji.
Macam-macam janji
Ketahuilah wahai sobat, secara global janji itu ada dua macam. Janji seorang hamba kepada Allah untuk hanya beribadah kepada-Nya saja dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
- Janji kepada Allah
Ketahuilah bahwa setiap muslim, dia telah melakukan perjanjian dengan Allah. Di saat dia mengucapkan dua kalimat syahadat, dia telah mengikrarkan janji untuk beribadah hanya kepada Allah saja, dan tidak melakukan ibadah kecuali dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah n.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji kalian.” [Q.S. Al-Maidah:1]
Sebagian ahli tafsir dari kalangan sahabat dan tabi’in, di antaranya adalah Ibnu Abbas dan Mujahid, juga sebagian ahli bahasa, di antaranya Az-Zujaj, mengatakan, “Yaitu perjanjian kepada Allah yang diambil dari umat ini agar mereka memenuhinya. Yaitu perkara-perkara yang Allah halalkan dan haramkan, juga perkara-perkara yang Allah wajibkan berupa shalat, puasa, zakat dan yang lainnya dari syariat Allah.” (Lihat ‘Az-Zawajir’, Al-Haitami dan ‘Al-Kabair’, Adz-Dzahabi)
Dan termasuk janji kepada Allah adalah nadzar seseorang kepada-Nya. Misalnya seseorang mengatakan, “Jika Allah sembuhkan penyakit saya maka saya bernadzar untuk berpuasa selama sepuluh hari.” Wajib baginya menunaikan nadzar tersebut apabila telah sembuh dari penyakitnya.
2. Perjanjian sesama manusia
Sobat Tashfiyah, ketahuilah bahwa perjanjian sesama manusia ini banyak sekali gambarannya. Penulis akan memberikan beberapa contoh yang dengannya insya Allah terwakili gambaran-gambaran yang lain.
a. Ketaatan terhadap penguasa muslim yang sah
Pada masa tegaknya daulah Islamiah, maka setiap pemimpin kaum muslimin dibai’at oleh seluruh kaum muslimin agar selalu mendengar dan taat pada penguasa selama bukan dalam perkara maksiat. Inilah janji ketaatan yang wajib ditunaikan. Orang yang memberuntak kepada penguasa muslim yang sah dan mati sebelum sempat bertobat maka dia akan bertemu Allah dengan tanpa memiliki hujjah (argumentasi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا حُجَّةَ لَهُ
“Barang siapa melepaskan diri dari ketaatan (kepada penguasa), niscaya dia bertemu Allah dengan tanpa memiliki pembelaan.” [H.R. Bukhari dari sahabat Abu Hurairah]
Perlu diketahui bahwa bai’at ini merupakan hak pemimpin/pemerintah. Jika mereka meminta bai’at wajib bagi kita untuk melakukannya. Adapun jika tidak, seperti keadaan kita saat ini, maka semata-mata kedudukan mereka sebagai penguasa, kewajiban mendengar dan taat terhadap mereka tetap berlaku.
b. Perjanjian yang terkait akad nikah
Di saat seorang gadis dilamar oleh seorang lelaki, boleh baginya memberikan syarat kepada calon suami untuk dipenuhi apabila telah menjadi istrinya. Jika calon suami menyanggupi syarat tersebut maka wajib baginya untuk memenuhinya. Bahkan hal ini merupakan janji yang paling berhak dipenuhi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallan bersabda:
أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
“Syarat/janji yang paling berhak ditepati adalah syarat yang kalian halalkan dengannya kemaluan.” [H.R. Al Bukhari dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir]
c. Perjanjian terhadap orang kafir
Demikianlah keluhuran Islam, terhadap musuh sekalipun Islam tetap memegang janjinya. Di saat terjadi perjanjian gencatan senjata dengan pihak kafir Allah perintahkan kaum muslimin untuk menjaga perjanjian tersebut dan memenuhinya.
Allah berfirman yang artinya, “Kecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kalian dan mereka sedikit pun tidak mengurangi (isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seorang pun yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janji sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” [Q.S. At-Taubah: 4]
d. Upah pekerja
Seorang yang bekerja tentu dia telah mengikat perjanjian dengan majikan/atasannya tentang upahnya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar menyegerakan pembayaran upah pekerja sebelum kering keringatnya. Maka orang yang tidak memenuhi hak para pekerja, dengan mengurangi upahnya atau bahkan tidak membayarnya sama sekali, dia telah melakukan kezaliman yang sangat besar.
Dalam hadits qudsi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman: “Tiga kelompok manusia yang akan menjadi lawan-Ku di hari Kiamat: seorang yang mengikat perjanjian atas nama-Ku kemudian berkhianat dan seorang yang menjual orang lain yang merdeka kemudian memakan hasilnya dan seorang yang mempekerjakan seorang pekerja hingga selesai pekerjaannya kemudian tidak diberikan upahnya”. [H.R. Al Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ].
e. Menjanjikan sesuatu terhadap anak kecil
Sobat, pernahkah kamu mendengar seorang ibu berkata kepada putranya yang masih kecil dan sedang menangis: “Dek, dek, jangan menangis. Sini ibu kasih permen. Kalo dedek diam nanti ibu belikan susu kesukaan dedek.” Atau berkata kepada putrinya yang masih balita di luar rumah bermain kotor-kotoran, “Nak kemari, ibu kasih sesuatu.” Nah, ini semua sekadar contoh memberi janji kepada anak kecil.
Sahabat Abdullah bin ’Amir pernah bercerita bahwasanya suatu ketika dia dipanggil oleh ibunya. Pada saat itu Rasulullah menyaksikannya. Ibunya berkata kepadanya: “Kemarilah nak, aku beri engkau sesuatu.” Rasulullah pun bersabda kepada ibunya: “Apa yang hendak engkau berikan kepadanya?”. Ibunya menjawab, “Aku hendak memberinya kurma.” Beliau bersabda, “Seandainya engkau tidak memberinya sesuatu, niscaya tercatat atasmu satu kedustaan”. [H.R. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah]
Demikian sedikit gambaran dari penulis tentang janji-janji yang wajib ditepati. Wallahu a’lam bish-shawab.
[Al Ustadz Syafii]
Leave a Reply