Berupaya untuk menjadi orang yang ikhlas, sungguh perkara yang berat. Sebab, orang yang ikhlas butuh pengorbanan yang tidak sedikit. Bukan korban harta atau korban nyawa. Tapi, berkorban melawan keinginan hati. Jangan dikira melawan keinginan hati itu suatu perkara yang sepele. Bahkan butuh kepada upaya yang sungguh-sungguh dan tekad yang membaja. Badan yang kekar tidak menjamin akan kuat dalam melawan keinginan hati. Watak yang keraspun bukan menjadi pertanda kokohnya dia dalam mengendalikannya. Bahkan, mayoritas manusia tidak bisa menjadi orang ikhlas yang sebenarnya.
Sobat muda, saat kita berperan dalam suatu permasalahan, kemudian betul-betul mengupayakan tercapainya hal tersebut, ingin rasanya jerih payah kita dihargai. Sekadar ucapan terima kasih, atau apalah sebagai harga jerih payah yang kita lakukan. Tapi bila upaya kita tidak di hargai, tidak di toleh dan tidak diperhatikan, diri kita merasa tersinggung dan marah karenanya. Merasa apapun yang kita usahakan sia-sia dan tiada guna. Nah sobat muda saat seperti inilah kita bisa menilai keikhlasan kita dengan sebenarnya.
kecenderungan hati ingin dihargai selalu saja ada, karena dihargai oleh orang lain itu memiliki rasa lezat dan bisa memabukkan bagi pelakunya. Tapi jangan salah, senang dipuji terhadap apa yang dia lakukan hakekatnya adalah penyakit hati yang berbahaya. Sebab, sikap ini akan menggerus dan menghapus keikhlasan. Padahal Allah menuntut hamba-hamba-Nya untuk beramal dengan ikhlas karena mengharap keridhaan Allah l. Allah berfirman;
“Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama.” [Q.S. Az-Zumar: 2-3].
Kalo bukan karena aku
Bisikan hati yang satu ini kadang terngiang –ngiang dalam sanubari dan menjadi godaan tersendiri bagi masing-masing kita. Padahal bila dipikirkan dengan benar kita akan tahu bahwa perasaan seperti ini tidaklah terpuji. Sebab, ini berarti ada sikap penyandaran keberhasilan suatu perkara sekadar berdasarkan peran dirinya, tanpa pihak lain. Tanpa dia, perkara tersebut tentu tak akan sukses dan beres. Ia sandarkan keberhasilan itu kepada dirinya dan melupakan peran Allah. Padahal, hakekat semua perkara sebenarnya tidak lepas dari takdir dan ketentuan Allah l. Allah berfirman yang artinya
“Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” [Q.S. Ath-Thalaaq: 12]
Oleh karenanya segala hal yang terjadi, baik itu dengan peran kita ataukah tidak, semua berdasar takdir dan kehendak-Nya. Makanya, tidak dibenarkan untuk menyandarkan suatu kesuksesan hanya kepada diri sendiri, apalagi sampai mengingkari kemampuan, kehendak dan takdir-Nya. Ini persis dengan apa yang menimpa Qarun yang Allah binasakan, saat menyandarkan nikmat yang ia peroleh dengan menyandarkan kepada diri sendiri. Kisah ini Allah l ceritakan dalam Al Quran
“Qarun berkata, ’Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku’”.[Q.S. Al Qashash :78]
Disebutkan pula dalam Al Quran sebuah contoh akan tercelanya sikap ini. Suatu ketika, orang-orang badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menampakkan diri bahwa merekalah yang telah berjasa menolong beliau, berjasa telah membantu Islam dengan sebab masuknya mereka ke dalam Islam. Maka Allahpun menegur mereka dan menurunkan ayat-Nya yang artinya; “Mereka merasa telah berjasa kepadamu dengan keIslaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keIslamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang jujur.” [Q.S. Al-Hujurat: 17]
Allah l membantah sikap mereka tersebut, bahkan memerintah Nabi-Nya untuk menyebutkan kepada mereka bahwa justru Allahlah yang memberikan nikmat Islam kepada mereka setelah kekufuran mereka. sehingga yang sepatutnya mereka lakukan adalah bersyukur dan memuji Allah atas limpahan karunia dan nikmat-Nya sehingga Ia membimbing mereka kepada nikmat hidayah tersebut atas mereka. Demikianlah kita diperintah Allah untuk menyandarkan hakekat nikmat tersebut kepada Allah l.
Sobat muda, barangkali pula, anggapan “kalau bukan karena aku” ini muncul tidak dimaksudkan mengingkari takdir dan kehendak-Nya, namun sekedar sikap bangga diri dan ingin di hargai. Inipun bukanlah sikap yang terpuji, sebab munculnya anggapan ini tidaklah jauh-jauh dari sifat ujub, riya, dan suka ketinggian diri. Allah berfirman yang artinya;
“Negeri akhirat ini, Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian(kesombongan) di atas muka bumi dan tidak pula menginginkan kerusakan. Dan kesudahan yang baiklah milik orang-orang yang bertakwa.” [Q.S. Al-Qashsash : 83].
Nah sobat muda, bila hati seseorang telah terhinggapi dan dikuasai dengan penyakit-penyakit ini, bagaimana ia berharap untuk mendapat janji Allah berupa surga, sedangkan Allah l mensyaratkan bagi calon penduduknya dengan syarat-syarat yang tidak dimilikinya. Sebagaimana disebutkan dari ayat diatas. Oleh karena itu, alangkah baiknya bila kita melatih diri untuk mengikhlaskan niat dalam setiap amalan. Ingatlah selalu akibat yang akan ia perolehnya bila ia mau mengikhlaskan amalan lillah ta’ala dan selalulah menata hati untuk hanya meniatkan amalan hanya karena-Nya. Wallahu a’lam
Leave a Reply