[oleh: Ustadz Abu Yusuf Abdurrahman]
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
~ Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Begitulah ucapan yang keluar dari lisan Umar bin Khaththab z demi melihat sekelompok orang berkumpul di masjid berjamaah melakukan salat tarawih. Atsar (ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada shahabat) ini disebutkan oleh Imam Al Bukhari di dalam Kitab Shahih beliau.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah pun mengambil faedah dari atsar ini. Beliau mengatakan, “Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah).” [Hilyatul Auliya’ jil. 9 hlm. 113].
Apa itu bid’ah hasanah? Mari kita kupas.
Mengerti Tentang Bid’ah Hasanah
Bid’ah hasanah artinya adalah bid’ah yang bernilai baik. Beberapa ulama telah menyebutkan jenis bid’ah ini dalam beberapa karya mereka. Pada kesempatan ini, kita akan sebutkan beberapa hal yang dianggap bidah hasanah dan nukilan ulama mengenai bid’ah jenis ini disertai telaah ringkas mengenainya.
a. Ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Mari kita perhatikan sejenak mengenai ucapan beliau ini. Umar radhiyallahu ‘anhu mengucapkan ucapan ini mengenai salat tarawih, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullah. Lantas, terbetik tanya, apakah salat tarawih termasuk bid’ah yang tidak ada dalilnya dari Al Quran dan hadis?
Jawabannya, ada dalilnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meneladankan salat tarawih. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan bahwa dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam Ramadhan salat sendiri di masjid. Lalu, orang berkumpul ikut salat bersama dengan beliau tiga malam berturut-turut. Pada malam keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar mengimami mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan sebab beliau meninggalkan salat tarawih berjamaah, yang artinya, “Yang menyebabkan aku tidak keluar mengimami kalian hanya karena aku khawatir salat ini akan diwajibkan atas kalian.” Maka, salat ini pun tidak dilakukan secara berjamaah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup dan pada khilafah Abu Bakar. Barulah pada khilafah Umar, saat beliau melihat orang-orang salat dengan beberapa jamaah tercerai-berai, beliau pun mengumpulkan mereka di masjid dengan satu imam.
Dengan melihat kepada kisah di atas, kita ketahui bahwa salat tarawih bukanlah bid’ah secara istilah syariat. Kriteria bid’ah ‘mukhtara’ah’ atau diada-adakan tidak terpenuhi pada amalan ini. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencontohkannya. Secara lisan pun, beliau juga memotivasi untuk melakukan salat malam di bulan Ramadhan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meneruskan mengimami hanya khawatir diwajibkan karena zaman itu adalah zaman pensyariatan. Saat beliau meninggal, syariat tidak lagi turun, alasan kekhawatiran telah hilang, makanya Umar radhiyallahu ‘anhu pun menghidupkan lagi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu. Umar bukan membuat hal yang baru dalam agama ini.
Lantas, kenapa Umar radhiyallahu ‘anhu menyebut salat tarawih sebagai bid’ah? Umar radhiyallahu ‘anhu menyebut amalan ini sebagai bid’ah dipandang dari bahasa, yakni menghidupkan amalan yang dahulunya ditinggalkan. Ingat, penggunaan kata bid’ah secara bahasa tidak bernilai celaan secara langsung (lihat pembahasan tentang definisi bid’ah). Adapun secara istilah syariat, apa yang beliau sebutkan ini bukanlah bid’ah.
b. Ucapan Imam Asy Syafi’i rahimahullah “Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah).”
Apakah dari ucapan beliau ini bisa dipahami adanya bid’ah secara istilah syariat yang bernilai baik? Untuk memahaminya, perlu diketahui apa yang beliau maksud sebagai bid’ah terpuji. Redaksi ucapan beliau secara lengkap seperti ini, “Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Yang sesuai sunnah adalah yang terpuji, sedang yang menyelisihi sunnah adalah tercela.” [Hilyatul Auliya]
Dari penjelasan beliau sendiri ini, kita simpulkan bahwa yang beliau maksud bid’ah terpuji bukanlah bid’ah secara istilah syariat, namun bid’ah secara bahasa. Karena, beliau yang beliau maksudkan sebagai bid’ah terpuji adalah bid’ah yang sesuai sunnah. Sehingga, tidak terpenuhi padanya kriteria bid’ah ‘mukhtara’ah’ (yang diadakan) sebab amalan tersebut berdasarkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Akan lebih jelas lagi, jika kita mengetahui bahwa beliau berdalil adanya bid’ah terpuji dengan kisah Umar di atas, seperti yang diriwayatkan dalam Hilyatul Auliya. Dan telah kita sampaikan di muka bahwa tarawih bukanlah bidah.
c. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Siapa yang meneladankan di dalam Islam ini teladan yang baik, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang beramal dengannya, tanpa mengurangi pahala orang yang beramal sedikit pun. Dan siapa yang mencontohkan dalam Islam ini teladan yang jelek, maka dia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang beramal dengannya, tanpa mengurangi dosa orang yang melakukannya sedikit pun.”
Hadis ini adalah hadis shahih yang diriwayatkan Imam Muslim, Imam Ahmad, dan lainnya. Dari hadis ini diambil faedah bahwa orang yang mengajarkan kebaikan akan mendapat pahala yang sangat besar, terus mengalir selama ajarannya diamalkan.
Sebagian orang memahami bahwa ini merupakan dalil adanya bid’ah hasanah. Mereka mengatakan bahwa siapa yang mengajarkan bid’ah hasanah, akan terus mendapat pahala yang terus mengalir selama bid’ah tersebut diamalkan.
Pendalilan ini adalah pendalilan yang tidak tepat. Akan lebih jelas saat kita melihat sababul wurud atau sebab datangnya hadis ini.
Saat itu pertengahan siang. Datang sekelompok orang yang bertelanjang kaki dan berbaju wol dari kabilah Mudhar. Demi melihat kondisi mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merasa kasihan. Beliau pun naik ke mimbar dan berkhutbah memberikan motivasi bersedekah kepada mereka. Namun, para shahabat tidak langsung menyambut ajakan tersebut. Sampai ada seorang dari Anshar yang datang membawa setangkup perak di tangannya. Lalu, para shahabat pun menjadi bersemangat hingga terkumpul dua gundukan makanan dan baju. Raut wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjadi cerah/bahagia. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengucapkan sabdanya di atas.
Pembaca, dengan melihat sababul wurud di atas, kita bisa menilai bahwa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maksud dengan ‘sunnah hasanah’ (ajaran yang baik) bukanlah ‘bid’ah hasanah’. Sebab, sedekah merupakan amalan yang memiliki banyak sekali landasan dalil dalam syariat. Sehingga, kriteria ‘mukhtara’ah’ tidak terpenuhi dalam perkara ini. Kesimpulannya, tidak tepat dalil ini dipakai dalam bid’ah hasanah dan hanya berlaku dalam sunnah hasanah.
d. An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama mengatakan bahwa bid’ah ada lima macam: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.” [Syarh Shahih Muslim] Ucapan An Nawawi ini semakna dengan yang disebutkan oleh Al ‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah dalam kitab Qawa’idul Ahkam.
Setelah menyebutkan hukum-hukum bid’ah yang dibagi menjadi lima ini, An Nawawi rahimahullah mencontohkan jenis-jenis bid’ah tersebut. Bid’ah yang wajib, misalnya mengumpulkan dalil-dalil yang digunakan oleh ahlul kalam untuk membantah ahlul bid’ah (membantah kebatilan ahlul bid’ah adalah wajib). Bid’ah yang sunnah, contohnya adalah menyusun kitab-kitab ilmu dan membangun sekolah. Bid’ah yang mubah, seperti mengonsumsi berbagai makanan beraneka macam yang belum ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. “Adapun bid’ah yang haram dan makruh, jelas.” kata beliau. [Syarh Shahih Muslim]
Pembaca yang kami hormati, dengan membaca perician contoh-contoh bid’ah tersebut, kita pun bisa menyimpulkan apa yang beliau sebut sebagai bid’ah dengan hukum wajib, sunnah, dan mubah, sejatinya bukanlah bid’ah menurut istilah syariat. Sebab, hal-hal tersebut telah ada dalil landasannya, baik secara tegas, maupun secara tersirat. Sehingga, penyebutan bid’ah yang menurut beliau bisa dibagi menjadi lima adalah bid’ah secara bahasa, yakni sesuatu yang baru, tidak memandang termasuk dalam hal agama atau tidaknya (seperti masalah makanan), tidak memerhatikan apakah ada dalil tersirat atau tidaknya (semisal penulisan karya ilmiah).
Lebih menguatkan apa yang kami sebutkan, bahwa An Nawawi rahimahullah menyebutkan pembagian ini setelah beliau mengatakan, “Para ahli bahasa mengatakan bid’ah adalah sesuatu yang diamalkan tanpa misal sebelumnya.” Setelah mengutip pendapat ahli bahasa inilah, beliau menyebutkan pembagian bid’ah. Maka kita pahami bahwa beliau menginginkan bid’ah secara bahasa, bukan bid’ah secara istilah syariat.
Setelah mengutip pendapat ahli bahasa inilah, Imam An Nawawi menyebutkan pembagian bid’ah tersebut. Maka kita pahami bahwa beliau menginginkan bid’ah secara bahasa, bukan bid’ah secara istilah syariat.
e. An Nawawi rahimahullah saat menjelaskan hadis ‘Semua bid’ah adalah sesat’, beliau mengatakan, “Hadis ini adalah ‘am makhshush (yakni, redaksinya menyebutkan keseluruhan, namun hanya dimaksudkan hal yang parsial atau sebagian saja). Yakni, mayoritas bid’ah adalah sesat.” [Syarh Shahih Muslim]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seringkali memulai khutbahnya dengan mengatakan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Amma ba’du: Sungguh, ucapan terbaik adalah Kitabullah, petunjuk terbaik adalah petunjuk Muhammad. Dan perkara terjelek adalah yang diada-adakan dan setiap bidah adalah kesesatan.” [H.R. Muslim]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tegaskan dan beliau ulang-ulang dalam khutbah, “Setiap bid’ah adalah kesesatan.” Secara tersurat, hadis ini menunjukkan bahwa bidah seluruhnya adalah sesat. Dipahami dari sini, tidak ada pengecualian dan pembagian menjadi bidah yang tidak sesat.
Akan tetapi, Imam An Nawawi mengatakan bahwa Rasulullah dalam hadis ini menggunakan uslub (metode pembicaraan) ‘am makhshush (ucapannya umum, namun diinginkan sebagian saja). Meski Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap bid’ah adalah kesesatan,” beliau memaksudkan hanya sebagian bid’ah saja yang sesat.
Allah subhanahu wata’ala juga pernah memakai uslub ini, kata beliau. Di antara contoh uslub (metode pembicaraan) ‘am makhshush, kata An Nawawi rahimahullah, adalah firman Allah subhanahu wata’a:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَىْءٍۭ بِأَمْرِ رَبِّهَا
“(Angin itu) menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya,” [Q.S. Al Ahqaf:25]
Kata Imam An Nawawi, penyebutan ‘segala sesuatu’ dalam ayat ini yang dimaksud bukan segala sesuatu secara mutlak, tapi yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dilewati oleh angin tersebut. Sehingga, meski ucapannya umum, tapi yang diinginkan sebagian, parsial dari keumuman tersebut.
Pembaca yang semoga dimuliakan Allah, pendalilan ini benar dengan catatan, kita harus memahaminya sesuai dengan penjelasan An Nawawi rahimahullah yang telah lewat pada poin sebelumnya. Benar bahwa sebagian bid’ah ada yang baik, tidak sesat. Namun bid’ah yang baik tersebut merupakan bid’ah secara bahasa (bukan dalam syariat). Adapun secara istilah (bid’ah dalam syariat), seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , “Semua bid’ah adalah sesat.”
f. Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan, “Yang benar, jika bid’ah ini termasuk dalam hal yang dianggap baik dalam syariat, maka itu adalah bid’ah hasanah. Namun jika termasuk hal yang dianggap jelek dalam syariat, maka itu adalah bid’ah mustaqbahah (jelek).” [Fathul Bari]
Ucapan Ibnu Hajar rahimahullah memberikan faedah bahwa bid’ah ada bid’ah hasanah dan bid’ah mustaqbahah/ sayyiah (jelek). Pembagian ini sebagaimana yang telah lalu, adalah pembagian bid’ah menurut asal kata secara bahasa.
Adapun menurut syariat, Ibnu Hajar menyatakan bahwa seluruhnya adalahh tercela. Beliau mengungkapkan pada kitab yang sama, dalam halaman yang sama, “Kata bid’ah secara syariat disebut pada sesuatu yang menyelisihi sunnah, sehingga kata bid’ah adalah kata yang tercela.” [Fathul Bari]
Kesimpulan Dan Penegasan
Dari pemaparan alasan dan penukilan ulama di atas, bisa kita simpulkan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat antara ulama. Ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah, mereka melihat kepada asal bahasa kata tersebut. Adapun ulama yang menjelaskan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat dan tercela, dan berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Setiap bid’ah adalah kesesatan.” Maka mereka memaksudkan dengannya bid’ah secara syariat yang telah kami sebutkan definisi dan batasannya pada artikel sebelumnya.
Sebagai akhir pembahasan, marilah kita simak ucapan Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam saat beliau menjelaskan hadis, ‘Setiap bid’ah adalah kesesatan.’ Beliau mengatakan, “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ‘Setiap bid’ah adalah kesesatan’ termasuk jawami’ul kalim (ucapan yang ringkas namun padat cakupannya). Tidak ada pengecualian sedikit pun. Dan ini termasuk pokok penting dalam agama ini. Sabda ini mirip dengan sabda beliau yang artinya, “Siapa yang mengadakan dalam urusan kami ini, yang bukan darinya, maka dia tertolak.” Maka, setiap orang yang mengadakan sesuatu dan menisbatkannya kepada agama, namun tidak memiliki dalil dari agama ini yang dijadikan sebagai pedoman, maka itu adalah kesesatan. Agama Islam berlepas diri darinya. Sama saja, itu termasuk masalah akidah, amalan anggota badan, atau ucapan lahiriah dan batiniah. Adapun ucapan sebagian salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah, maka itu hanyalah bid’ah secara bahasa, bukan secara syariat.”
” Adapun ucapan sebagian salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah, maka itu hanyalah bid’ah secara bahasa, bukan secara syariat.”
~ Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah, dalam Jami’ul Ulum wal Hikam
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply