Pada periode Mekah di awal dakwah Islam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mulai gencar berdakwah setelah Rabbnya memerintahkan untuk terang-terangan berdakwah. Musuh Islam pun menunjukkan kekhawatirannya. Manuver-manuver kekejaman mereka lakukan untuk mengembalikan kaum muslimin kepada agama kaumnya.
Allah melindungi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa salam dengan perantaraan pamannya, Abu Thalib, yang merupakan tokoh kaumnya. Demikian pula Abu Bakr, beliau dilindungi oleh keluarganya. Namun, sahabat yang lainnya tidak memiliki pelindung. Mereka disiksa dengan siksaan yang berat.
Hijrah Pertama ke Negeri Habasyah (Ethiopia)
Pada tahun kelima kenabian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengisyaratkan kepada para sahabat untuk hijrah ke negeri Habasyah, untuk mendapatkan perlindungan Raja Najasyi[ Najasyi adalah gelar bagi penguasa Habasyah, sebagaimana Kaisar adalah gelar bagi penguasa Romawi. Najasyi yang melindungi kaum muslimin dan masuk Islam bernama Ashhimah bin Bahr Radhiyallahu ‘anhu.] yang beragama Nasrani. Beliau Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Di negeri Habasyah ada seseorang raja yang rakyatnya tidak akan dizalimi. Maka, pergilah kalian ke sana hingga Allah memberikan jalan keluar bagi kita.”
Dua belas lelaki dan empat wanita pun berangkat meninggalkan Mekah menuju Habasyah secara bertahap. Mereka lari membawa agama dan keselamatan diri mereka. Di antara mereka adalah Utsman bin Affan, dan istrinya, Az-Zubair bin Awwam, Ibnu Mas’ud, Mush’ab bin Umair dan lainnya.
Kaum Quraisy mencium gelagat ini. Mereka mengejar kaum muslimin sampai ke pantai. Namun, mereka tidak mendapatkan satu pun dari kaum muslimin.
Dua bulan berlalu sejak mereka bermukim di Habasyah. Mereka mendengar kabar burung bahwa penduduk Mekah masuk Islam semuanya. Mereka pun pulang ke tanah air dengan perasaan gembira, memeluk Islam bersama keluarga.
Tak disangka, ternyata kabar burung yang mereka peroleh ini tidak benar. Ketika mereka sudah hampir sampai kota Mekah, seseorang memberi tahu mereka bahwa penduduk Mekah belum masuk Islam. Mereka merasa takut sekaligus cemas sehingga tidak langsung memasuki Mekah demi mendengar berita ini. Hingga akhirnya, mereka memasuki kota Mekah dengan diam-diam atau di bawah perlindungan seseorang dari kaum Quraisy. Di sana, kembali para sahabat disiksa lebih berat dari sebelumnya.
Kisah Utsman bin Mazh’un
Di antara sahabat yang memasuki kota Mekah dengan perlindungan seorang Quraisy adalah Utsman bin Mazh’un Radhiyallahu ‘anhu. Beliau berada di bawah perlindungan Al-Walid bin Al-Mughirah.
Namun, saat dia melihat dirinya berada dalam keamanan sedangkan saudaranya kaum muslimin ditindas dan disiksa, dia menjadi tidak tenang dengan keamanannya ini. Dia kembalikan perlindungan Al-Walid, lalu bergantung kepada perlindungan Rabbul ‘alamin.
Sejarawan Islam terkemuka, Muhammad bin Ishaq Rahimahullah, menyampaikan bahwa Utsman mengatakan, “Pagi dan soreku senantiasa dalam keamanan dengan perlindungan seorang musyrik, padahal sahabat dan saudaraku seagama mendapatkan ujian dan cobaan. Demi Allah, ini merupakan kekurangan besar pada diriku.”
Beliau pun menemui Al-Walid dan mengatakan, “Wahai Abu Abdusy Syams (nama kehormatan Al-Walid), aku kembalikan perlindunganmu.”
“Kenapa wahai keponakanku? Apa ada salah seorang kaumku yang menekanmu?” tanya Al-Walid.
“Tidak. Aku ridha dengan perlindungan Allah dan aku tidak ingin perlindungan dari selain-Nya.” tegas Utsman.
“Jika begitu, mari ke Ka’bah, kembalikan perlindunganku dengan terang-terangan sebagaimana aku melindungimu dengan terang-terangan.” ajak Al-Walid.
Keduanya pun berangkat ke Ka’bah yang merupakan tempat berkumpulnya kaum Quraisy. Di sana, keduanya menegaskan bahwa Utsman tidak lagi dilindungi oleh Al-Walid.
Setelah diumumkan pengembalian perlindungan ini, salah seorang yang duduk di majelis, Labid bin Rabi’ah, mengucapkan sebuah syair yang artinya:
“Ketahuilah, bahwa segala sesuatu selain Allah adalah batil” Utsman menimpali, “Engkau benar.”
“Dan semua nikmat pastilah akan hilang” lanjut Labid. Utsman pun mengatakan, “Engkau dusta.” Nikmat surga tidaklah hilang.
Berang karena dibantah, Labid pun mengatakan, “Wahai Quraisy, Demi Allah. Teman kalian (yakni dirinya) tidak pernah disakiti sebelum ini, kenapa sampai terjadi seperti ini sekarang?”
Orang yang lain menjawab, “Orang ini adalah orang dungu yang meninggalkan agama kita. Jangan engkau merasa tersakiti karena ucapannya.”
Demi mendengar ini, Utsman pun ikut angkat bicara sehingga terjadi perdebatan sengit antara keduanya. Hingga kemarahan orang itu pun memuncak dan menampar tepat di mata Utsman bin Mazh’un. Mata Utsman terluka. Al-Walid yang ada di sampingnya hanya bisa melihatnya dan mengatakan, “Demi Allah, keponakanku, sebenarnya tidak perlu terjadi seperti ini pada matamu. Engkau tadinya berada di bawah perlindunganku yang kuat.”
Utsman pun mengatakan, “Demi Allah! Justru mataku satunya juga menginginkan apa yang menimpa yang lainnya. Dan aku benar-benar di dalam perlindungan yang lebih mulia dan lebih mampu daripada engkau, wahai Abu Abdusy Syams (yakni Al-Walid).”
Al-Walid meminta, “Ayolah, keponakanku, kembalilah kepada perlindunganku.”
“Tidak.” tegas Utsman.
Demikianlah, Utsman bin Mazh’un melepaskan perlindungan pamannya yang masih musyrik. Beliau kembali ke perlindungan Allah semata dan merasakan pengorbanan yang juga dirasakan oleh saudara-saudaranya seiman.
Hijrah Kedua ke Negeri Habasyah
Melihat betapa menyedihkannya keadaan yang menimpa para sahabat waktu itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menganjurkan untuk kembali berhijrah ke Negeri Habasyah.
Delapan puluh sekian lelaki dan sembilan belas wanita berhijrah menuju Habasyah, menuju tempat yang aman dan tenteram untuk beribadah kepada Rabbnya.
Susulan dari Quraisy
Mendengar kepergian kaum muslimin ke negeri Habasyah, tokoh Quraisy pun bermusyawarah. Mereka mencari cara agar kaum muslimin bisa kembali ke Mekah untuk mereka siksa. Keputusannya, mereka akan mengutus dua orang yang pandai bernegosiasi dengan membawa hadiah kepada Najasyi.
Mereka mengutus ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu (yang waktu itu masih kafir) dan ‘Imarah bin Al-Walid (dalam riwayat lain: Abdullah bin Abi Rabi’ah) membawa hadiah untuk raja Najasyi dan para pendetanya. Setiap pendeta mereka beri hadiah seraya mengatakan, “Kami menemui raja hanya karena beberapa orang bodoh kaum kami. Mereka keluar dari agama kaumnya dan tidak masuk ke agama kalian. Lalu, kaum kami menginginkan agar raja mengembalikan mereka. Jika kami berbicara dengan raja, mintalah beliau untuk menuruti apa yang kami maukan.”
Para pendeta itu menjawab, “Ya. Kami lakukan.”
Lalu, mereka pun menemui raja Najasyi dan memberikan hadiah istimewanya. Tak lupa, mereka bersujud ketika pertama menemui Najasyi. Saat mereka memberikan hadiahnya kepada Najasyi, mereka mengatakan, “Baginda, beberapa pemuda bodoh kami keluar dari agama kaumnya, tetapi tidak pula masuk ke dalam agama Anda. Mereka datang membawa agama baru yang tidak kita ketahui. Mereka ada di negeri Anda. Dan kami telah diutus oleh kerabat mereka, ayah, paman, dan kaum mereka agar Anda bersedia untuk mengembalikan mereka.”
Raja Najasyi marah dan mengatakan, “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan mengembalikan mereka hingga aku berbicara dengan mereka dan aku lihat bagaimana perkaranya. Mereka adalah orang-orang yang berlindung di tanah airku, memilih untuk bertetangga denganku daripada selainku. Jika memang seperti apa yang kalian katakan, aku kembalikan mereka, jika tidak, aku tetap lindungi mereka dan aku tidak turut campur antara mereka dan kaumnya.”
Para pendeta menyarankan untuk mengembalikan mereka, namun Najasyi tetap mengatakan, “Tidak, demi Allah, hingga aku mendengar ucapan mereka dan aku tahu urusan sebenarnya.”
Najasyi memerintahkan untuk memanggil kaum muslimin. Datanglah kaum muslimin dengan Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu sebagai juru bicara. Mereka menemui Najasyi dan tidak bersujud kepadanya. Para pendeta mengatakan, “Bersujudlah kalian kepada raja.”
“Kami tidak sujud kecuali kepada Allah .” jawab Ja’far.
“Kenapa?” tukas Najasyi heran.
“Allah telah mengutus seorang Rasul di tengah-tengah kami. Beliau adalah Rasul yang diberitakan oleh Isa bin Maryam q bernama Ahmad. Beliau memerintah kami untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, serta memerintahkan untuk berbuat ma’ruf dan melarang dari kemungkaran.”
Najasyi merasa takjub terhadap perkataan ini. Melihatnya, ‘Amr bin Al-‘Ash menimpali, “Semoga Allah memperbaiki Anda, keyakinan mereka tentang Isa bin Maryam berbeda dengan keyakinan Anda.”
“Apa yang Nabi kalian yakini tentang Ibnu Maryam?” tanya Najasyi kepada kaum muslimin.
“Beliau meyakini apa yang Allah firmankan bahwasanya dia adalah Ruh yang Allah tiupkan dan kalimat-Nya yang Dia ucapkan pada Maryam. Dia mengeluarkannya dari perawan yang belum pernah didekati lelaki dan tidak pernah melahirkan anak.” kata Ja’far.
Najasyi pun mengambil sepotong kayu kecil di tanah dan mengangkatnya seraya mengatakan, “Wahai sekalian pendeta dan rahib. Mereka tidak menambahi dari apa yang aku yakini tentang anak Maryam meski hanya sebesar kayu ini. Selamat datang bagi siapapun yang datang dari pihak Nabi kalian. Saya bersaksi bahwasanya beliau adalah Rasulullah. Saya bersaksi bahwa beliau adalah yang diberitakan oleh Isa. Seandainya bukan karena kerajaan yang ada di tanganku, niscaya aku mendatangi beliau dan menciumi kedua sandal beliau. Tinggallah kalian sekehendak kalian di negeriku.”
“Kembalikan hadiah dua orang ini.” tambah Najasyi.
Gagallah rencana Quraisy untuk mengembalikan kaum muslimin di negeri Habasyah ke Mekah.
Kembali dari Habasyah
Beberapa tahun setelahnya, mereka mendengar bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat hendak berhijrah ke negeri Madinah. Sebagian sahabat pun ada yang kembali ke Mekah untuk berhijrah bersama Rasulullah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam ke Negeri Madinah. Mereka berjumlah tiga puluh tiga lelaki dan delapan wanita. Dua lelaki di antaranya meninggal di Mekah dan tidak sempat ikut bersama Rasulullah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam. Tujuh orang lelaki ditahan oleh kaumnya. Sedangkan yang dua puluh empat berhasil mengikuti Rasulullah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam berhijrah dan mengikuti perang Badr.
Surat Untuk Najasyi
Pada tahun ketujuh hijriah di negeri Habasyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengirimkan surat kepada Najasyi, isinya adalah ajakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk masuk Islam. Najasyi pun mengikuti seruan Nabi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam. Beliau masuk Islam waktu itu pula seraya mengatakan, “Andai aku mampu untuk menemui beliau, niscaya aku akan menemuinya.”
Di dalam surat itu juga terkandung perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk mengirimkan para sahabat ke Madinah. Sebagian para sahabat pun diangkut di atas dua perahu oleh Najasyi. Mereka mendatangi Nabi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam tepat pada waktu ditaklukannya kota Khaibar.
Surat itu juga mengandung perintah Nabi untuk menikahkan diri beliau dengan Ummu Habibah bintu Abu Sufyan yang waktu itu berada di Habasyah. Najasyi pun meminangkan Ummu Habibah untuk Rasulullah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam. Sedangkan yang menikahkan Ummu Habibah dengan beliau adalah Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash. Mahar pernikahan beliau sebesar empat ratus dinar yang diberikan oleh Najasyi.
Ummu Habibah dahulu berhijrah ke Habasyah bersama dengan suaminya, Ubaidullah bin Jahsy. Namun, Ubaidullah murtad ke agama Nasrani di Habasyah dan meninggal beragama Nasrani.
Najasyi Radhiyallahu ‘anhu Meninggal Dunia
Saat Najasyi meninggal dunia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan kepada para sahabat untuk berkumpul melakukan shalat ghaib, bertakbir empat kali sebagaimana tata cara shalat jenazah pada umumnya. Beliau bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari Rahimahullah yang artinya,
“Hari ini telah meninggal seorang lelaki yang shalih dari negeri Habasyah. Mari kita menshalatinya.”
Kejadian inilah yang merupakan dasar disyariatkannya shalat ghaib. Namun, ada satu hal yang patut diperhatikan darinya. Najasyi masuk Islam seorang diri di negeri Habasyah. Sedangkan kaumnya masih beragama Nasrani, sehingga tidak ada yang menshalati jenazah beliau di sana. Oleh karena itu, Rasulullah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam mengajak para sahabat untuk menshalatinya. Adapun jika seseorang meninggal di tempat yang kemungkinan besar dia dishalatkan, tidak disyariatkan untuk menshalatinya dengan shalat ghaib, menurut pendapat sebagian ulama.
Demikianlah beberapa peristiwa terkait dengan hijrah ke bumi Habasyah. Allahu a’lam bish shawab.( Ustadz Abdurahman )
Disarikan dari:
Mukhtashar Sirah Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah.
As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam Rahimahullah.
As-Sirah An-Nabawiyah, Muhammad bin Ishaq Rahimahullah.
Shahih Sirah An-Nabawiyah, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah.
Leave a Reply