Perkembangan teknologi, terkhusus media informasi dan komunikasi, ibarat arus deras yang mustahil dibendung. Bukan lagi barang mewah, di era digital ini smartphone bahkan seolah menjadi kebutuhan pokok. Segala lapisan masyakarat dengan perbedaan tingkat sosial, ekonomi, maupun pendidikan, tidak lepas dari gadget. Tidak terbatas kalangan dewasa dan orang tua, seumuran SD pun jarinya begitu lincah di atas layar touchscreen. Mungkin benar sebuah anekdot yang dikatakan sebagian orang bahwa kebutuhan primer sekarang adalah sandang, pangan, papan, dan cas-casan (yakni charger, alat pengisi daya baterai HP).
Seiring perkembangan teknologi informasi yang pesat ini, lahirlah berbagai macam media sosial. Twitter, Facebook, Path, WhatsApp, Instagram adalah sebagian saja dari medsos yang menjamur. Masing-masing bersaing menawarkan interaksi sosial yang dirancang semenarik mungkin. Bukan hanya mudah dan murah, komunikasi pun lebih mengasyikkan. Sehingga tidak kaget dengan data yang disebutkan oleh Direktur Pelayanan Informasi Internasional, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kemenkominfo, Selamatta Sembiring, bahwa pengguna Facebook Indonesia adalah nomor empat setelah USA, Brazil, dan India. Sedangkan pengguna Twitter pada peringkat kelima dunia setelah USA, Brazil, Jepang, dan Inggris.
Di Indonesia, grafik pengguna telepon pintar (smartphone) sendiri menanjak tajam tiap tahunnya. Indonesia adalah pertama di Asia dan ketiga di dunia terbanyak pengakses internet melalui gadget. Sementara menurut data tanggal 30 Oktober 2013 dari Kemenkominfo bahwa 95 persen dari 63 juta masyarakat Indonesia pengguna internet adalah untuk media sosial, yaitu Facebook dan Twitter. Demikian fakta data sekitar dua tahun yang lalu. Walaupun tidak aktual, setidaknya bisa dijadikan sebagai gambaran.
Pembaca, harus disadari bahwa gadget dan medsos ibarat pedang bermata dua. Bukan hanya manfaat dari kemudahan komunikasi saja yang diperhatikan, namun hendaknya mudarat yang ditimbulkan juga harus dipertimbangkan. Bahkan kenyataannya, banyak sekali dampak negatifnya. Terutama bagi pengguna yang tidak berbekal ilmu agama dan takwa.
Allah subhanahu wata’ala telah memuliakan manusia dengan memberikan karunia akal. Dengannya, mereka bisa menciptakan dan mengembangkan berbagai teknologi canggih sebagai sarana yang mendukung dan memudahkan kehidupan mereka. Salah satunya adalah gadget. Komunikasi dan silaturahmi menjadi lebih mudah dan murah. Kita juga bisa memanfaatkan dalam rangka pembelajaran jarak jauh, seperti mendengarkan ceramah keagamaan secara langsung atau rekaman. Aplikasi note dan kalender bisa digunakan sebagai pengingat agenda-agenda penting. Aplikasi hadis pun sangat bermanfaat, demikian pula kamusnya. Masih banyak manfaat gadget yang lainnya. Namun sekali lagi, ini bagi mereka yang punya bekal ilmu agama dan takwa.
Jadi, gadget dan medsos yang ada pada hakikatnya adalah nikmat dari Allah subhanahu wata’ala. Sehingga hal itu harus disyukuri sebagaimana nikmat yang lain. Di antara bentuk syukur tersebut adalah menggunakannya dalam hal positif, dalam rangka beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, pemanfaatan sesuai fungsi pendukung kebaikan. Ketika tidak disyukuri, maka pada hakikatnya semua itu adalah azab. Artinya, akan muncul dampak negatif dan beragam kejelekan di belakangnya. Kemudian akan berujung kepada kerusakan dan kebinasaan.
Fakta kerusakan sebab gadget ini sudah tidak bisa dihitung banyaknya. Beragam kasus kejahatan muncul dari gadget dan medsos. Gadget yang sudah menjadi tuntutan pergaulan, seolah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. Akibatnya, bagi yang berkemampuan pas-pasan akan memaksakan diri. Kebutuhan penting lainnya akan terabaikan untuk urusan tren gadget ini. Pada tingkat pelajar, penyelewengan uang SPP untuk kepetingan ini sudah banyak terjadi. Pencurian dan tindak kekerasan pun akan ditempuh bagi anak yang kelewat nakal. Yang penting, keinginan tercapai.
Rengekan anak yang menginginkan gadget bisa jadi sangat menjengkelkan orang tua. Bahkan, rengekan anak tidak jarang membuat gelap mata. Tak lagi mengindahkan batasan norma agama, yang penting bisa mendapatkan uang untuk memenuhinya. Belum lagi perilaku anak durhaka yang sampai bersikap keras kepada orang tua. Berbagai kasus ini kita saksikan dalam kehidupan masyarakat kita. Pembaca sekalian mungkin juga sering melihat, atau mendengar berbagai fenomena yang memprihatinkan ini.
Kasus dan dampak negatif di atas hanya contoh di lingkup kecil. Itu pun baru dilihat dari kaca mata moral dan kemanusiaan. Belum diamati melalui teropong agama. Seperti bahaya dusta, menipu, mencuri, durhaka kepada orang tua, perilaku boros, juga gaya hidup mewah dan berlebih-lebihan.
Dalam ruang terbatas ini, kita hanya akan sekilas mengulas tentang sikap boros dan gaya hidup berlebih-lebihan. Memang, berpenampilan bagus, berpakaian bagus, sandal bagus, adalah perkara yang mubah atau boleh-boleh saja. Bahkan, Allah subhanahu wata’ala senang kepada seorang hamba yang nampak pada lahiriyahnya buah dari nikmat Allah subhanahu wata’ala. Namun, ini tentu pada batas wajar, tidak melampaui kemampuan. Berbeda dengan kebanyakan orang sekarang yang cenderung memaksakan diri, dan berlebih-lebihan. Dengan kata lain boros atau menghambur-hamburkan harta. Menilik kepada hadis berikut, jelas sikap semacam ini sangat tercela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كلْ، وَاشْرَبْ، وَالْبَسْ، وَتَصَدَّقْ فِي غَيْرِ سَرَفٍ، وَلَا مَخِيلَةٍ
“Makan, minum, berpakaian, dan bersedekahlah dengan tanpa berlebih-lebihan dan sombong.” [H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Al Bukhari secara mu’alaq dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya]. Apalagi, gaya hidup mewah, berlebih-lebihan, ingin diakui keberadaannya oleh orang lain, hal ini sangat dekat dengan sifat sombong.
Coba perhatikan petikan nasihat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berikut! Beliau mengatakan, “Apa yang engkau belanjakan untuk dirimu, keluargamu dengan tanpa berlebih-lebihan, tidak pula pelit, maka bagianmu pahalanya. Demikian pula yang engkau sedekahkan. Adapun yang engkau belanjakan dalam keadaan riya’ (pamer), sum’ah (ingin didengar), maka itu adalah bagiannya setan.” [Riwayat Abdurrazaq dalam Al Mushannaf, dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman].
Ditegaskan lagi, bahwa kenyataannya orang yang sudah memiliki HP yang bagus, masih ingin memiliki yang lebih bagus. Kemudian memberatkan diri dengan berbagai upaya untuk mendapatkannya. Coba renungkan juga firman Allah subhanahu wata’ala berikut ini yang artinya, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [Q.S. Al Isra’:27].
Dilihat sisi penggunaannya, gadget lebih banyak mudaratnya. Ini dari kenyataan yang dilakukan keumuman orang, tanpa memungkiri sebagian kecil yang bisa memaksimalkan kemanfaatannya. Sebagaimana data yang disebutkan bahwa mayoritas pemakai gadget di Indonesia adalah untuk Facebook dan Twitter. Untuk dua kegiatan ini, begitu besar porsi waktu yang dihabiskan. Sehingga berbagai kegiatan positif lainnya terabaikan. Sibuk menjawab pesan yang biasanya sekadar obrolan, posting gambar, update stasus, telah menggeser zikir, membaca Al Quran, beramah tamah dengan orang tua, menyapa istri, atau mencandai si kecil. Ya, Facebook telah mengambil waktu mereka. Seandainya dalam perkara penting, bermaslahat besar, tentunya tidak masalah. Namun, kenyataan yang terjadi adalah kalau tidak perkara haram, sekadar sia-sia.
Sementara waktu adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Kita hidup di dunia ini bukan untuk perkara yang sia-sia. Namun untuk satu tujuan yang mulia, yaitu beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata. Bukan hidup untuk main-main, melampiaskan hawa nafsu. Perhatikanlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ ، عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ ، وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلاهُ ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَا عَمِلَ بِهِ ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ ، وَفِيمَا أَنْفَقَهُ
“Tidak akan bergeser kaki setiap hamba pada hari kiamat sampai ditanya tentang empat hal; umurnya untuk apa dihabiskan, jasadnya untuk apa dihancurkan, ilmunya apa yang telah diamalkan, hartanya dari mana didapatkan dan ke mana dibelanjakan.” [H.R. At Tirmidzi dari sahabat Abu Burdah Al Aslami radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib]. Maka siapkan jawaban kalian! Jangan sampai keluar dari mulut ini, “Terlewatkan salat jamaah karena sibuk membalas pesan teman Facebookan.” Na’udzubillahi min dzalik. Benar, jangan dikira menyia-nyiakan waktu itu perkara yang sepele. Bukankah Allah subhanahu wata’ala pun bersumpah dengan waktu dalam satu surat khusus? Tentu ini menunjukkan sebuah perkara yang besar.
Apabila dilihat isi obrolan, minimalnya terjatuh dalam fudhul kalam atau banyak bicara. Bicara tanpa perlu, sekadar iseng saja. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya bicara kebaikan atau hendaknya diam.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu].
Imam Asy Syaf’i rahimahullah menjelaskan, “Makna hadis ini adalah apabila seorang ingin berbicara, hendaknya berpikir dahulu. Apabila nampak bahwa apa yang hendak ia ucapkan itu tidak ada mudaratnya, maka berbicaralah. Namun, apabila bermudarat, atau ragu-ragu bermudarat atau tidak, hendaknya ia diam.” [Al Minhaj].
Ibnu Abi Ad Dunya rahimahullah dalam Ash Shamt wa Adabul Lisan meriwayatkan bahwa Ibrahim An Nakha’i rahimahullah mengatakan, “Manusia binasa pada dua perkara: banyak harta dan banyak bicara.” Memang, seorang muslim yang baik akan meninggalkan segala yang tidak penting. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah menegaskan yang artinya, “Di antara kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak ia pentingkan.” [H.R. At Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’].
Pembaca, penjelasan para ulama salaf di atas hanya menyinggung tentang banyak berbicara, belum membahas tentang ghibah dan namimah. Tentu kalau ditambah dengan ghibah dan namimah, kejelekannya tambah parah. Padahal orang yang banyak bicara sangat sulit terlepas, minimalnya salah satu dari keduanya. Belum juga tentang mencela, mencaci, dan seterusnya. Nah, siapakah yang merasa aman dari godaan syahwat? Orang yang cerdas tentu bisa memilih. Allahu a’lam.
Leave a Reply