Saya ikut bersedih dan prihatin bila mendengar cerita teman tentang sebagian orang yang beralasan tawakal untuk menyembunyikan rasa malas, pesimis, kecil hati atau ketidakberdayaan. Maksudnya, ia seorang pemalas namun alasannya tawakal. Pesimis tetapi sembunyi di balik nama tawakal. Ia kecil hati dan berupaya memolesnya dengan istilah tawakal.
Astaghfirullah! Tawakal tidak mungkin dan tidak boleh diartikan demikian. Tawakal terlalu agung jika dimaknai seperti itu. Tawakal dan usaha tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Tawakal merupakan bentuk iman sementara berusaha dengan anggota badan adalah ketaatan kepada Allah.
Ingatlah selalu bahwa tawakal adalah perintah Allah. Dan Allah juga yang memerintahkan kita untuk berusaha. Sehingga, jangan pisahkan usaha dari tawakal. Jihad di jalan Allah, contohnya. Di dalam berbagai ayat dan hadis, setiap hamba yang ikut menjadi bagian dalam jihad diharuskan untuk mengedepankan tawakal kepada Allah. Akan tetapi, apakah tanpa usaha?
Ambil contoh firman Allah berikut!
“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” [Q. S. An Nisa:71]
Juga bacalah ayat berikut!
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu.” [Q. S. Al Anfal:60]
Setelah itu, bacalah sejarah pertempuran yang terjadi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apakah kemenangan demi kemenangan itu diperoleh begitu saja tanpa ada usaha? Apakah semua itu diraih dengan tanpa persiapan yang matang?
Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memilih waktu di pagi hari atau saat tergelincirnya matahari ke barat sebagai waktu mulai berperang. Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengecoh para informan musuh dengan bergerak ke arah yang berlawanan dengan objek sesungguhnya. Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim pasukan perintis untuk membukakan jalan bagi pasukan inti. Bukankah itu semua disebut usaha?
Formasi pasukan. Strategi yang diracik. Para panglima, komandan dan pemimpin pasukan yang ditentukan. Alat-alat perang yang dipersiapkan dan dibawa. Bekal makanan atau logistik juga dipikirkan sebaik-baiknya. Bahkan, kota Madinah yang ditinggalkan pun tidak dibiarkan kosong dari pimpinan dan pasukan. Apakah ini masih belum cukup meyakinkan bahwa Allah memerintahkan kaum muslimin untuk bertawakal namun juga mengharuskan kita untuk melakukan persiapan? Seperti yang termaktub dalam dua ayat di atas dan dipraktikkan oleh Rasulullah.
Secara garis besar, kegiatan amaliyah hamba tidak akan lepas dari tiga kemungkinan. Ketiga kemungkinan tersebut tidak dapat lepas dari tawakal, walaupun hukumnya tidak sama. Ibnu Rajab dalam Jamiul Ulum (536-538) menyebutkannya:
1. Ibadah. Ibadah yang diperintahkan Allah sebagai sebab masuk surga dan terhindar dari neraka. Kegiatan amaliah yang ini harus disertai dan didasarkan pada tawakal. Ia harus memohon pertolongan dari Allah agar mampu melaksanakannya. Jika tidak?
Jika tidak bertawakal, ia berhak memperoleh hukuman, entah itu di dunia atau di akhirat kelak. Dalam hal ini, Yusuf bin Asbath mengatakan, “Silakan beramal dengan semangat seakan-akan ia tidak akan selamat kecuali dengan amalnya. Silakan bertawakal dengan keyakinan ia tidak akan memperoleh apa pun kecuali sesuai dengan catatan takdirnya”
2. Kebiasaan primer. Kegiatan yang terkait dengan kebutuhan pokok manusia seperti makan minum untuk tidak lapar dan haus, berteduh dari sengatan panas, menghangatkan diri saat hawa dingin, kegiatan ini pun harus disertai dengan usaha, bukan semata-mata berdiam diri. Berusaha dalam poin ini hukumnya wajib.
Sehingga, jika ia tidak berusaha lalu mengakibatkan kerugian atau mudarat, padahal ia mampu, ia berhak memperoleh hukuman dari Allah.
3. Keperluan secara umum. Artinya, kegiatan tersebut tidak semua orang memerlukannya setiap saat. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Berobat saat sakit, contohnya. Ini pun tetap diharuskan untuk berupaya secara maksimal. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berdiam diri ketika sakit. Beliau berusaha dengan cara berobat.
Intinya Sobat Tashfiyah, jangan pisahkan antara usaha dengan tawakal. Sebagaimana kita dilarang untuk mengandalkan atau berbangga dengan kemampuan sendiri, kita pun dilarang untuk berdiam diri tanpa usaha. Islam mengajarkan jalan tengah yang terbaik dan penuh hikmah.
Sahl At Tustari rahimahullah mengingatkan kita, “Barang siapa mencela usaha, artinya ia telah mencela Sunnah. Barang siapa mencela tawakal, maka ia telah mencela iman. Tawakal adalah keadaan Rasulullah n, sementara berusaha menjadi sunnahnya. Oleh sebab itu, siapa saja yang beralasan dengan keadaan Rasulullah, ia tidak boleh meninggalkan sunnahnya.”
Dahulu kala, penduduk Yaman berangkat berhaji tanpa membawa bekal yang cukup. Alasannya demi bertawakal. Akibatnya, setelah sampai di Makkah, mereka mengharapkan pemberian dari orang. Allah kemudian menurunkan firman-Nya dalam surat Al Baqarah ayat 197 yaitu:
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Sejak itu, setiap kali berangkat berhaji, mereka mempersiapkan bekal secukupnya.
Lalu apa kesimpulan akhirnya? Berusahalah dengan sebaik-baiknya. Sebab, tinggi rendahnya nilai tawakal kita juga dipengaruhi dengan seberapa maksimal kita berusaha. Jangan lupa berdoa dan ber-isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah. Percayalah bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan permintaan hamba-Nya.
Allahu akbar!
[Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai]
Leave a Reply