Sobat Tashfiyah, semoga kita selalu mendapatkan bimbingan dari Allah, sering kita mendengar istilah manusia sebagai makhluk sosial. Maksudnya bahwa kita dalam menjalani kehidupan ini, tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai gambaran, di saat kita di rumah, dapatkah kita hidup sendirian? Tentu tidak. Di rumah kita butuh orang tua, kakek, nenek, adik, kakak. Demikian pula di kampung, kita butuh teman bermain, tetangga, bapak-bapak perangkat desa dan lain-lain. Di sekolah atau pondok pesantren juga demikian, kita butuh berinteraksi dengan bapak dan ibu guru ataupun ustadz dan ustadzah juga sesama murid/santri. Demikian pula sebaliknya, mereka juga butuh kepada kita.
Nah, jika demikian manusia butuh untuk ta’awun (saling bantu) satu dengan yang lain. Terlebih sesama kaum muslimin, kita diperintahkan oleh Allah untuk saling ta’awun dalam perkara yang baik. Dan ta’awun ini tidak akan bisa berlangsung dengan baik jika tidak ada rasa saling percaya antara satu dengan yang lain. Sehingga sering dalam pergaulan, dalam rangka menguatkan kepercayaan saudara kita, tidak segan-segan kita mengucapkan janji kepadanya.
Orang yang terpercaya dalam pergaulannya dengan sesama akan dikenal sebagai orang yang mulia. Sebaliknya orang yang sering menyalahi janji, maka akan jatuh kehormatannya di sisi manusia dan ucapannya tidak lagi didengar dan dipercaya. Berkata sebagian orang bijak, “Orang yang dikenal kejujurannya masih memungkinkan untuk dusta dalam ucapannya, akan tetapi orang yang terkenal sebagai pendusta tidak akan diterima kejujurannya.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih rahimahullah)
Adab-Adab Dalam Berjanji
Adab merupakan perkara yang sangat diperhatikan dalam Islam. Dalam setiap aspek kehidupan Islam memberikan bimbingan kepada umatnya dengan adab-adab yang luhur dan mulia. Adab bangun tidur, adab masuk kamar mandi, dalam kamar mandi, keluar darinya, adab buang hajat, adab makan minum, adab berpakaian juga adab-adab dalam pergaulan. Dan di antara adab-adab dalam pergaulan adalah adab dalam berjanji. Berikut ini beberapa adab dalam berjanji:
- Berpikir sebelum mengucapkan janji
Awas, mulutmu adalah harimaumu. Jangan sampai kehormatanmu terkoyak oleh tajamnya lisanmu. Pikirkan masak-masak apa yang hendak engkau ucapkan kepada saudaramu dalam janjimu. Dikatakan oleh sebagian orang bijak: ‘Orang yang takut terjatuh dalam dusta tidak akan banyak mengobral janji’. Berkata sebagian yang lain: ‘Dua perkara yang tidak akan lepas dari dusta; mudah mengobral janji dan banyak mencari alasan’. (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
2. Menata niat
Setiap amalan butuh pada niat agar bernilai ibadah di sisi Allah. Niat inilah yang akan membedakan antara amalan yang dilakukan semata-mata sebagai kebiasaan sehari-hari ataukah dalam rangka mengharap pahala dari Allah. Hal ini sebagaimana kita ketahui bersama dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat masyhur, “Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niat dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
3. Berjanji pada perkara yang baik secara syar’i
Apabila kita hendak berjanji kepada saudara kita, baik dalam hal melakukan perbuatan atau meninggalkannya, maka harus kita perhatikan dengan saksama, adakah hal tersebut diperbolehkan secara syar’i ataukah tidak. Misalnya kita berjanji akan mengunjungi saudara kita bulan depan di rumahnya. Perkara ini baik secara syar’i, bahkan sangat dianjurkan. Demikian pula kita berjanji bersama-sama dengan saudara kita untuk selalu menghadiri majelis ilmu yang diadakan oleh ustadz ahlus sunnah. Ini juga perkara yang sangat mulia.
Adapun berjanji dalam rangka bermaksiat kepada Allah atau menzalimi hamba Allah maka yang demikian bukan sifat orang yang beriman. Misalnya, seseorang berjanji dengan temannya untuk bertemu di diskotek, atau di gedung bioskop untuk bersenang-senang di dalamnya. Atau seseorang berjanji hendak memukuli temannya. Seandainya salah seorang kita sudah telanjur jatuh dalam hal tersebut, maka tidak boleh baginya untuk menunaikan janjinya dan wajib bagi dia untuk bertobat kepada Allah.
4. Mengucapkan ‘insya Allah’
Ini merupakan adab seseorang kepada Allah. Adab yang Allah bimbingkan kepada nabi-Nya. Allah berfirman:
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ
“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sungguh aku pasti melakukan hal itu besok pagi.’ Kecuali (dengan mengatakan) ‘insya Allah’ (jika Allah menghendaki). Dan ingatlah kepada Rabb-mu jika engkau lupa…” [Q.S. Al-Kahfi: 23-24]
Di dalam ayat ini Allah membimbing kita agar tidak mengucapkan hendak melakukan suatu perkara di masa yang akan datang kecuali disertai dengan ucapan ‘insya Allah’, karena hal tersebut sama halnya dengan memberitakan sesuatu yang akan datang, sedangkan kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Hikmah di balik ucapan ini di antaranya; mengembalikan segala daya dan kekuatan, kuasa dan kehendak hanya kepada Allah. Juga dengan seseorang menggantungkan kehendaknya kepada kehendak Allah menimbulkan sikap optimis terhadap usahanya. Juga barakah dari menjalankan perintah Allah berupa kemudahan dalam urusan. Juga terkandung padanya ketundukan seorang hamba terhadap kekuasaannya. Juga disebabkan manusia memiliki sifat lupa dan lalai, meskipun tidak ada kehendak untuk tidak memenuhi janjinya. Karenanya di dalam ayat tersebut Allah perintahkan di saat seseorang lupa mengucapkannya, agar dia segera mengucapkannya di saat ingat. (Taisirul Karimir Rahman, As-Sa’di)
5. Memohon pertolongan Allah dalam menunaikan janjinya
Menunaikan janji merupakan perintah Allah dan segala yang diperintahkan Allah adalah ibadah. Di antara doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, “Ya Allah tolonglah aku agar selalu mengingatmu, bersyukur kepada-Mu dan menjalankan ibadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya”. [H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu)
6. Berusaha sekuat tenaga dalam memenuhinya.
Ingkar janji merupakan sifat yang sangat tercela, bahkan pelakunya bisa tergolong sebagai seorang pendusta. Imam Ahmad pernah ditanya: ‘Dengan apa engkau mengenal para pendusta?’. Beliau menjawab: ‘Dengan dia menyalahi janji’. Lebih dari itu, kebiasaan ingkar janji merupakan sifat yang melekat pada orang-orang munafik.
7. Memberitahukan sebelumnya dan menyampaikan alasan jika berhalangan
Sobat Tashfiyah, tentu kita semua ingin selalu memenuhi janji kita bukan? Akan tetapi terkadang kejadian di lapangan tidak seperti apa yang kita rencanakan. Manusia hanya bisa merencanakan, sedangkan Allahlah yang menentukan. Jika dalam suatu kondisi kita tidak dapat menunaikan janji atau terlambat dalam menunaikannya, maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menghubungi saudara kita tersebut. Bukankah sarana komunikasi saat ini begitu banyak dan mudah? Juga alangkah baiknya jika hal itu bisa dilakukan sebelum lewat waktu yang dijanjikan. Kita sampaikan kepadanya permohonan maaf serta menjelaskan alasan kita tidak dapat memenuhi janji atau keterlambatan dalam memenuhi janji.
Nah, sekarang coba sobat ingat-ingat, adakah janji kalian yang belum tertunaikan? Semoga Allah selalu memberikan bimbingan dan taufik-Nya kepada kita agar selalu bisa menunaikan janji-janji kita. Amin.
[Al Ustadz Syafi’i]
[…] atau keterlambatan dalam memenuhi janji. [Al Ustadz Syafi’i] Mau baca ulasan lengkapnya? Klik http://tashfiyah.com/adab-adab-berjanji/ Tag: #adab #janji #akhlak ? B A C A Ambil […]