Pembaca, suka mengeluh adalah salah satu sifat dasar manusia. Allah subhanahu wata’ala sebutkan hal ini dalam firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah dan kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah.” [Q.S. Al-Ma’arij: 19-20]
Memang, disadari atau tidak, hampir setiap hari manusia mengeluh. Mengeluhkan kesehatannya, kesibukannya, kekurangan hartanya, sampai mengeluhkan pasangannya. Curhat kepada teman sekantor, kepada orang tua atau bahkan kepada tetangga. Asyik curhat akhirnya ngobrol sana-sini tentang kekurangan pasangan tanpa mendapat solusi.
Terlebih lagi di zaman sekarang. Adanya media sosial dengan berbagai macamnya yang terbentang luas di hadapan manusia, semakin membuat manusia merasa bebas untuk mencurahkan isi hatinya. Sangat mudah bertemu teman lama. Teman yang dulu enak diajak curhat. Bahkan kepada ‘teman’ yang ia sendiri belum pernah bertatap muka. Dan bila kita lihat, apa yang sebetulnya mendominasi curhat seseorang? Kebanyakan isinya adalah keluhan. Ya, sebagaimana sifat dasar manusia yang telah Allah sebutkan.
Pembaca, sekarang mari kita lihat hasilnya. Dengan menyampaikan keluhan kita kepada orang lain, terlebih lagi mengeluhkan apa yang ada pada pasangan kita, apakah kita banyak mendapatkan solusi? Mungkin iya, apabila kita ‘mengeluh’ pada orang yang berilmu, yang membimbing kita ke jalan yang benar. Tapi sayangnya, di sekeliling kita lebih banyak orang yang memenuhi kemauan kita, bukan memenuhi kebaikan bagi kita. Sehingga saat kita mengeluh, mereka justru ikut mengiyakan apa yang kita keluhkan pada pasangan kita, tanpa memberikan solusi.
Sebenarnya tentang mengeluh ini, ada sebuah nasihat yang sangat berharga dari Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Al-Fawaid. Beliau menyebutkan bahwa seorang yang bijaksana hanya akan mengeluh kepada Allah subhanahu wata’ala saja. Sementara orang yang paling bijaksana adalah orang yang mengeluhkan dirinya kepada Allah, bukan mengeluhkan orang lain.
Dia mengeluh (tentang kesalahan) apa yang ia perbuat sehingga membuat orang lain berbuat jelek kepadanya. Hal ini mencocoki firman Allah subhanahu wata’ala, “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (kesalahanmu).” [Q.S. Asy-Syura: 30]
Juga firman-Nya, “Dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” [Q.S. An-Nisa’:79]
Begitu pula firman-Nya yang artinya,”Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada perang Uhud) padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada perang Badar) kamu berkata, ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah, ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.’ [Q.S. Ali Imran: 165]
Kemudian beliau menyebutkan bahwa manusia ada tiga tingkatan. Tingkat paling rendah yaitu mereka yang mengeluhkan Allah subhanahu wata’ala kepada makhluk. Tingkat yang paling tinggi adalah mereka yang mengeluhkan dirinya kepada Allah. Dan tingkat pertengahan adalah mereka yang mengeluhkan makhluk kepada Allah subhanahu wata’ala.
Kira-kira pada tingkatan mana kita berada?
[Ustadzah Ummu Umar]
Agus says
Bagaimana jika bertahun tahun seorang istri tetap tidak mau menerima nasihat kebaikan dari suaminya,apakah sang suami tetap mempertahankan rumah tangganya atau sebaliknya dengan menceraikan sang istri karena didalamnya terdapat kemungkaran yang banyak,mohon penjelasannya,jazakallahu khairan
admin says
Istri yang tidak mau menerima nasihat baik yang disampaikan suami, walaupun taat pada suami pada masalah lain tetap dianggap nusyuz. Karena, kewajiban suami mengarahkan dan membimbing istri pada kebaikan (agama yang benar).
Dalam menghadapi sikap nusyuz dari istri, Allah telah memberikan solusi dalam surat An Nisa:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)
“Dan wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, Maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. [Q.S. An-Nisa:34]
Tahapan tersebut adalah:
1. Nasihat berulang dangan hikmah. Berikan targhib (menyebutkan motivasi) dan tarhib (menyebutkan ancaman). Kalau tidak bisa,
2. Diboikot atau berpisah di ranjang. Kalau masih tidak mau juga,
3. Memukul istri dengan pukulan yang tidak membekas, selain wajah. Pukulan yang penuh kasih sayang untuk mengajarkan adab.
Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasihat, bila nasihat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
Seandainya tiga tahapan ini tidak membuat istri jera, maka dicerai lebih baik.
Ini semuanya, tentu dengan melihat sebesar apa dan sejauh mana pembangkangan istri tersebut.
Misalnya, kesalahan ringan yang menjadi tabiat istri, tapi masih bisa ditoleransi. Istri pun telah berusaha namun masih sering terjadi, maka memaafkan lebih baik.
Allahu a’lam.
Barakallahu fikum.
Agus says
Sebenarnya di nasihati sudah sering kali,namun untuk memukul ana tak berani khawatir di salah artikan,dalam benak kadang ingin menceraikan istri,tapi tak mempunyai biaya untuk kepengurusannya,banyak sekali permasalahan dalam rumah tangga ana,ya allah,berfikir sejenak untuk mencari solusi,jazakallahu khairan